Salah satu program unggulan Presiden Prabowo Subianto adalah Makan Bergizi Gratis (MBG) khususnya bagi siswa. Program ini mulai berjalan di berbagai sekolah diberbagai daerah sejak tahun 2025, dengan tujuan utama meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia melalui pemenuhan gizi seimbang. Dengan gizi yang baik, diharapkan lahir generasi sehat, kuat, cerdas, produktif, serta siap menyongsong cita-cita Indonesia Emas 2045.
Peningkatan gizi sejak dini memiliki dampak langsung pada tumbuh kembang otak, daya tahan tubuh, serta prestasi belajar. Data Kementerian Kesehatan 2023 mencatat prevalensi stunting di Indonesia masih berada di angka 21,5%. Angka ini cukup tinggi jika dibandingkan target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menekankan prevalensi stunting harus di bawah 20%. Melalui MBG, pemerintah berharap angka stunting dapat terus ditekan sehingga anak-anak Indonesia dapat tumbuh lebih sehat dan berdaya saing.
Sayangnya, di lapangan kerap muncul fenomena yang cukup memprihatinkan. Di sejumlah sekolah, khususnya di perkotaan, makanannya banyak bersisa, baik nasi maupun lauknya. Bahkan ada yang tidak dimakan sama sekali. Alasannya beragam, mulai dari tidak suka sayur, rasa makanan yang dianggap kurang sesuai selera, hingga anggapan bahwa makanan gratis tidak terlalu penting bagi siswa yang berasal dari keluarga ekonomi mampu.
Fenomena ini sangat disayangkan. Pasalnya, di luar sana masih banyak keluarga yang kesulitan memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional 2024, sekitar 7,2% rumah tangga Indonesia masih mengalami rawan pangan. Artinya, makanan bergizi yang disediakan pemerintah bukan hanya sekadar fasilitas, melainkan sebuah bentuk perhatian nyata terhadap masa depan generasi muda.
Jika dihitung, nilai satu porsi MBG rata-rata sekitar Rp10.000. Di sekolah dengan jumlah murid 1.000 orang, anggaran yang dikeluarkan mencapai Rp10 juta per hari. Dalam satu bulan (20 hari sekolah), nilainya sekitar Rp200 juta, dan dalam setahun mencapai Rp 2 miliar hanya untuk satu sekolah.
Bayangkan jika program ini berjalan di ribuan sekolah di 38 provisi di Indonesia, nilainya bisa menghabiskan ratusan triliunan rupiah dalam setahun. Angka tersebut mencerminkan betapa besar komitmen pemerintah dalam menyiapkan generasi penerus bangsa.
Karena itu, sudah selayaknya siswa tidak menyia-nyiakan makanan yang diberikan. Peran sekolah, guru, dan orangtua sangat penting dalam menanamkan sikap menghargai makanan. Guru dapat memberikan edukasi sederhana tentang pentingnya gizi serta dampaknya bagi kesehatan, begitu juga dari sisi agama, tidak membuang makanan secara mubazir. Orangtua pun perlu menegaskan di rumah bahwa membuang makanan adalah perbuatan yang tidak baik dan tidak sesuai dengan nilai-nilai syukur.
Selain itu, sekolah bisa melakukan inovasi dengan melibatkan siswa dalam proses penyusunan menu, agar lebih sesuai dengan selera mereka namun tetap bergizi seimbang. Edukasi tentang food waste atau pemborosan makanan juga penting dikenalkan sejak dini, agar generasi muda terbiasa bersikap bijak terhadap makanan.
Program MBG adalah investasi besar bangsa ini. Oleh karena itu, para siswa sebagai penerima manfaat harus menunjukkan rasa syukur melalui tindakan sederhana: menghabiskan makanan yang diberikan, tidak membuangnya sia-sia, dan memahami bahwa setiap butir nasi memiliki nilai dan perjuangan. Dengan begitu, MBG bukan hanya sekadar program, melainkan gerakan bersama membentuk generasi yang sehat, berkarakter, dan pandai bersyukur.***