Banyak SMA, SMK dan SLB Negeri di Jabar yang kini tidak memiliki kepala sekolah definitif, di antaranya karena pensiun. Kemudian kekosongan ini dijabat oleh Plt (pelaksana tugas) yang umumnya menjabat maksimal enam bulan.
Hal ini membuat roda organisasi dan kebijakan strategis tidak bisa berjalan secara optimal. Bahkan saat ini sekolah yang tidak memiliki kepala sekolah dijabat oleh wakil kepala sekolah.
Isu mengenai pengisian kekosongan kepala sekolah tersebut pun gencar terhembus. Bahkan kepala sekolah yang menjabat di sekolah yang jauh dari domisilinya akan dikembalikan ke daerah masing-masing. Namun sampai saat ini belum juga terealisasi.
Tidak sedikit kepala sekolah yang bertugas jauh dari tempat tinggalnya, meninggalkan anak istri/suami. Contoh kecil ada kepala sekolah yang berdomisili di Kota Bandung, tetapi bertugas memimpin sekolah di ujung Kabupaten Tasikmalaya, yang berjarak ratusan kilometer.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat (Jabar) melalui Dinas Pendidikan (Disdik) dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Jabar yang akan merotasi kepala SMA, SMK, dan SLB negeri ke daerah domisili asal mereka menandai langkah baru dalam pengelolaan pendidikan.
Gagasan ini sederhana, namun sesungguhnya menyentuh persoalan mendasar, kesejahteraan pendidik yang selama ini kerap terabaikan.
Selama bertahun-tahun, banyak kepala sekolah yang harus bertugas jauh dari kampung halaman. Kondisi ini bukan sekadar masalah jarak, tetapi juga menyangkut beban psikologis, sosial, bahkan finansial.
Guru dan kepala sekolah adalah manusia yang memiliki keluarga, lingkungan sosial, serta kebutuhan untuk hadir di tengah komunitasnya. Ketika mereka dipaksa berpindah terlalu jauh, energi yang seharusnya dicurahkan untuk pendidikan justru terkuras oleh jarak tempuh dan tekanan hidup sehari-hari.
Mutasi ke daerah asal dapat dimaknai sebagai bentuk penghargaan terhadap tenaga pendidik. Kedekatan dengan domisili memberi kesempatan mereka untuk bekerja lebih fokus, sehat secara mental, serta produktif dalam menjalankan tugas.
Pada akhirnya, siswalah yang akan merasakan dampak positif dari kebijakan ini, layanan pendidikan yang lebih optimal dari tenaga pendidik yang sejahtera.
Meski demikian, kebijakan ini tentu tidak bebas dari tantangan. Pemprov Jabar perlu memastikan proses mutasi tidak menimbulkan kekosongan di sekolah tertentu atau penumpukan tenaga di wilayah lain. Keseimbangan distribusi sumber daya manusia adalah kunci. Tanpa perencanaan matang, semangat pemerataan bisa berubah menjadi ketidakmerataan baru.
Namun, jika dikelola dengan bijak, kebijakan ini dapat menjadi terobosan. Mutasi ke domisili asal bukan sekadar rotasi administratif, melainkan ikhtiar membangun sistem pendidikan yang lebih manusiawi. Di era ketika kualitas pendidikan menjadi taruhan masa depan bangsa, perhatian pada kesejahteraan pendidik adalah langkah strategis yang layak diapresiasi.
Jika benar terlaksana sebelum akhir September, Jawa Barat akan menorehkan preseden penting bahwa pendidikan yang bermutu berawal dari penghargaan terhadap manusia di balik sistem itu sendiri, para guru dan kepala sekolah.***