Kabar dari Dadang Bainur itu cukup mengejutkan. Katanya, Kang Uu Rukmana meninggal di RS Adven hari Minggu, 3 Maret 2024 jam 18.00. Tidak ada kabar sebelumnya bahwa almarhum sakit keras atau dirawat di rumah sakit. Meskipun demikian, memang sudah cukup lama almarhum menderita beberapa penyakit.
Waktu putranya meninggal, almarhum tampak sangat emosional, padahal biasanya tidak demikian. Terakhir saya ketemu almarhum waktu meninggalnya Kang Tjetje H. Padmadinata.
Setelah pemakaman Uu Rukmana mengajak saya mampir dulu ke kantor majalah Mangle. Ketika berbincang beberapa saat terkesan dia kurang sehat.
Ketika Kongres Bahasa Sunda 1987 berlangsung di Cipayung, Bogor, di samping diminta sebagai salah seorang pemakalah saya juga diminta untuk menyelenggarakan pameran buku Sunda. Kongres tersebut digagas oleh Uu Rukmana bersama Acil Bimbo.
Penyelenggaraan kongres tersebut dipandang cukup berani dan fenomenal. Prosesnya cukup panjang namun akhirnya dapat diselenggarakan dengan baik.
Salah seorang yang meminta saya menyelenggarakan pameran buku tersebut adalah Kang Wahyu Wibisana. Dia menjanjikan akan meminjamkan koleksi bukunya meski dalam bentuk fotokopi.
Saya langsung menyanggupinya tanpa bertanya berapa besar anggarannya serta persoalan lainnya. Yang menjadi pertimbangan utama ketika itu adalah momentumnya.
Menyelenggarakan kongres bahasa Sunda merupakan peristiwa yang menarik. Kebetulan beberapa teman yang umurnya jauh lebih muda dari saya juga spontan mau membantu. Tidak ada yang mempersoalkan apakah akan dapat honor atau tidak.
Baik Kongres Bahasa Sundanya, maupun pameran bukunya berhasil dengan baik. Setelah diselenggarakan di Cipayung, beberapa bupati meminta agar pameran seperti itu diselenggarakan di daerah yang menjadi wewenangnya.
Dalam beberapa bulan kemudian, pameran sejenis diadakan di Bandung, Cianjur, Sumedang, Ciamis dan Pandeglang. Setelah itu, bisa dikatakan saya relatif sering bertemu dan berbincang dengan Uu Rukmana.
Perbincangan umumnya berkaitan dengan budaya serta bahasa Sunda. Mesti diakui perhatian Uu terhadap budaya Sunda, khususnya bahasa dan kesenian, cukup konsisten. Ketika dia menjadi salah seorang wakil ketua DPRD Jawa Barat misalnya, ada beberapa pihak yang mendapat fasilitas dari pemerintah Jawa Barat. Peran Uu di dalamnya cukup penting.
Setelah saya pensiun dari Pikiran Rakyat pertemuan dengan almarhum terus berlangsung. Satu saat dia berbicara tentang kondisi tabloid Kujang. Koran bahasa Sunda yang satu ini, di samping majalah Mangle, merupakan salah satu tonggak dalam perjalanan aspirasi kesundaan.
Hubungan Uu Rukmana dengan Pak Ema Bratakusumah sebagai pendiri koran Kujang, tampaknya cukup kental. Antara keduanya terjalin hubungan yang unik karena di samping memiliki wawasan sama tentang masalah-masalah kesundaan, juga sama-sama menyukai seni pencak.
Akhirnya almarhum memutuskan akan menerbitkan kembali tabloid Kujang. Tatang Sumarsono dipercaya menjadi pemimpin redaksinya. Uu juga menyediakan salah satu rumahnya di Jl Soekarno-Hatta sebagai kantor Kujang.
Karena berbagai kendala, Kujang tidak bertahan lama. Tapi tampaknya Uu tidak berputus asa. Dia kemudian menerbitkan Koran Sunda. Koran harian dalam bahasa Sunda. Sejak awal sudah terbayang kesulitan apa yang harus dihadapi. Bahkan koran Sipatahoenan yang legendaris saja, ketika diterbitkan kembali tidak sanggup bertahan.
Bagaimana pula dengan Koran Sunda, di mana mencari percetakan yang sanggup mencetaknya pun susah sekali. Belum lagi pemasaran. Jangan tanya perkara iklan. Ada satu dua kepala daerah yang menyanggupi berlangganan dalam jumlah agak banyak (ketika itu Uu Rukmana sedang menjabat sebagai Ketua DPD Golkar Jawa Barat). Tapi urusan keuangannya ternyata berbelit-belit.
Seperti diduga sejak awal, umur Koran Sunda juga tidak lama. Perhatian Uu Rukmana terhadap media berbahasa Sunda ternyata terus menyala. Terakhir dia membeli sebagian besar saham majalah Mangle. Kantornya pun langsung dipindahkan, tidak lagi di Jl Lodaya Bandung.
Setelah itu saya beberapa kali ketemu dan berbincang dengan almarhum. Salah satu yang menjadi keluhannya, memimpin majalah Mangle diakuinya sebagai tantangan yang cukup berat.
Dalam perjalanan waktu, dari beberapa teman, saya mendengar kabar bahwa Uu sering sakit-sakitan. Urusan majalah Mangle pun kabarnya lebih banyak dipercayakan kepada putranya. Mungkin kesehatannya terus menurun.
Kini Uu Rukmana sudah berpulang ke haribaan Allah SWT. Semoga amal kebaikannya memperoleh ganjaran serta kesalahannya akan mendapat ampunan dari Allah SWT. Jejak langkahnya di bidang budaya serta jurnalistik Sunda akan menjadi kenangan.***