majalahsora.com, Kota Bandung – Potensi gerakan radikalisme diprediksi terus berkembang di 2020 ini. Di 2019 saja, setidaknya ada 11.800 konten radikal yang teridentifikasi dan dilakukan takedown oleh Kominfo.Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 10.449 konten.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi publik “Potensi Gerakan Radikalisme di Tahun 2020” yang digelar Federasi Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Pasundan di Kampus Unpas Jalan Dr Setiabudi Bandung, Minggu (26/1/2020) petang.
Hadir sebagai pembicara Kasubid Kewaspadaan dan Deteksi Dini Kesbangpol Kota Bandung Ridwan Herianto, akademisi dan penggiat pendidikan Mansurya Manik, dan Ketua Karang Taruna Kota Bandung Andri Gunawan.
Kasubid Kewaspadaan dan Deteksi Dini Kesbangpol Kota Bandung Ridwan herianto menuturkan radikalisme saat ini telah berubah. Salah satu yang membahayakan adalah anarkisme.
“Jadi ternyata sekarang berubah, sekarang muncul apa yang disebut anarkis. Ini yang harus diperhatikan. Karena sebetulnya ini membahayakan,” katanya.
Menurut Yanto, Kota Bandung tidak bisa lepas dari isu nasional karena lokasinya bersinggungan dengan ibukota. Hal inilah yang bisa menimbulkan potensi radikalisme.
“Tren 2020 ini masih sama seperti 2019. Di Kota Bandung banyak potensinya, kampus saja banyak sebab spot-spot di kampus ini menjadi sasaran karena mereka berkembang di lingkungan itu. Nah bagaimana caranya kita mengenal gerakan mereka, intinya ketika sudah mulai menentang pemerintah dan anarkis, nah itu. Menyampaikan aspirasi boleh, demo boleh, tapi tertib, ada audiensi,” ungkapnya.
Sementara itu Gubernur Federasi Mahasiswa Fakultas Teknik Unpas
Raja Faisal mengungkapkan gerakan radikalisme masih menjadi ancaman di 2020. Terutama melalui media sosial yang seringkali dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan-pesan radikal sehingga menjadi doktrin untuk menggiring opini masyarakat.
“Tahun 2018 menunjukkan terdapat 19 kejadian aksi teror yang menjadi perhatian publik, tidak hanya itu di tahun 2019 juga terjadi sebanyak delapan aksi tindakan terorisme,” ujarnya.
Di media sosial, kata dia, sebaran faham radikalisme terus dihembuskan secara masif. Konten-konten radikal telah teridentifikasi dan dilakukan takedown oleh Kemenkominfo.
“Dari 10.449 konten pada tahun 2018, meningkat menjadi 11.800 konten di tahun 2019,” ujarnya.
“Hal tersebut dipengaruhi sejumlah faktor, di antaranya komunikasi di media sosial telah mempercepat penyebaran paham radikal meningkat dan menjadi racun yang sulit mendapatkan penawar. Media sosial yang notabene menjadi media yang mudah diakses saat ini dimanfaatkan oleh radikalis untuk menyebarkan pesan yang borderless (tanpa batas) dan partisipatif,” ungkapnya.
Dia berharap, dengan adanya diskusi ini para mahasiswa bisa lebih memahami dan bisa menggiring opini positif bagi mahasiswa termasuk juga bagi masyarakat umum.
“Mahasiswa sangat rentan terhadap gerakan radikalisme, di luar banyak sekali gerakan berbau radikalisme. Makanya harus punya dasar,” katanya. [SR]***