majalahsora.com, Kota Bandung – Guna menekan gejolak harga yang berakibat pada inflasi, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) bersama Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dan para bupati/ walikota se-Jabar serta Bank Indonesia Perwakilan Jabar menggelar high level meeting di ruang rapat Sanggabuana Gedung Sate Bandung, Senin (30/10/2017).
Dalam arahannya Gubernur Aher meminta kepada seluruh kepala daerah yang kini masing-masing ditunjuk menjadi ketua TPID, untuk terus memantau harga-harga sembako dan distribusinya agar terjadi keseimbangan, khususnya di daerah yang tingkat inflasinya tinggi.
“Kita minta semua kabupaten kota khususnya daerah yang tingkat inflasinya selalu diukur setiap saat untuk terus memantau harga-harga dan distribusi barang khususnya sembako dan permintaan masyarakat supaya terjadi keseimbangan dan tidak ada masalah,” kata Aher.
Di satu sisi Aher memahami bahwa hukum dasar perdagangan adalah adanya suplai dan permintaan masyatakat. Bila permintaan mencukupi kemudian suplai juga stabil maka terjadilah stabilitas harga.
“Tapi kalau ada gejolak harga berarti kan ada persoalan, kemungkinannya adalah suplainya tetap tapi permintaan naik,” tuturnya.
Kemungkinan lainnya, permintaan tetap tapi suplai turun atau suplai turun permintaan naik, hal itulah yang paling dikhawatirkannya.
Namun Aher menegaskan, ketika ada gejolak harga tak serta merta persoalan ada pada hukum dasar perdagangan.
“Ketika ada gejolak harga tentu kita tidak harus berkutat pada hukum dasar tapi lihat dulu ada masalah apa,” ujarnya.
Aher mengatakan, harus diteliti lebih jauh, karena bisa saja persoalan seperti itu muncul karena ada aksi premanisme, monopoli distribusi, struktur pasar yang tidak normal, atau karena faktor infrastruktur jalan yang menghambat distribusi sehingga menyebabkan kenaikan harga.
“Jangan-jangan ada premanisme di distribusi, monopoli distribusi atau boleh jadi persoalannya pada infrastruktur jalan atau struktur pasar yang tidak normal,” tuturnya.
“Saya ingin gejolak harga yang berakibat pada inflasi itu diteliti terlebih dahulu jangan sampai kita menyerah begitu saja,” tambah Aher.
Kepala Bank Indonesia Perwakilan Jabar Wiwiek Sisto Widayat menjelaskan, inflasi adalah salah satu indikator ekonomi penting setelah PDB. Inflasi merupakan bentuk stabilitas ekonomi yang selalu dipantau setiap hari karena bila harga-harga kebutuhan masyarakat bergejolak maka akan berpengaruh pada kesejahteraan masyatakat.
“Banyak faktor yang mempengaruhi inflasi tapi ada empat faktor besar yang menyebabkan inflasi tinggi,” jelas Wiwiek.
Penyebab pertama menurutnya adalah masalah pasokan atau distribusi. Kedua, terkait dengan keterbatasan pada infrastruktur.
“Kita paham bahwa infrastruktur di Jabar termasuk baik dibanding daerah lain tetapi masih harus terus ditingkatkan lagi,” katanya.
Selain itu, struktur pasar dan mekanisme pembentukan harga juga mempengaruhi inflasi.
“Kita tahu komoditas utama masyarakat sangat ditentukan oleh struktur pasarnya seperti apa,” ucap Wiwiek.
Terakhir yaitu terkait dengan aspek inflasi itu sendiri, bagaimana harapan-harapan masyarakat terhadap inflasi.
“Begitu masyarakat berhatap inflasi tinggi maka biasanya inflasi tinggi pun akan terjadi,” terangnya.
Menurut Wiwiek, melihat perekonomian Jabar tahun 2017 ini trend nya sedang mengalami pelemahan. Pelemahan ini juga terjadi secara nasional bukan hanya di Jabar.
“Di tahun 2016 perekonomian Jabar tumbuh sebesar 5,67 persen tapi di triwilan I dan II tahun 2017 berada di level 5,28, ini yang menyebabkan sulitnya mencapai level di tahun 2016,” terangnya.
Walaupun begitu lanjut Wiwiek, pertumbuhan ekonomi Jabar hingga kini masih diatas rata-rata nasional.
“Tetapi Jabar masih akan tetap berada diatas pertumbuhan ekonomi nasional dan akan ada di kisaran 5,60 persen,” pungkasnya. [SR]***