Dr. Ir. H. Ahmad Hadadi, M.Si, Kepala Dinas Pendidikan Prop. Jawa Barat
majalahsora.com, Bandung – Sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Jawa Barat (Jabar) sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud). Seperti diatur di Pasal 15, Permendibud Nomor 17 tahun 2017 tentang PPDB. Tidak seperti diberitakan di sejumlah media massa yang menyebutkan zonasi PPDB Jabar mengabaikan permendikbud.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jabar Ahmad Hadadi menegaskan, kesesuaian regulasi zonasi ini dibuktikan dengan penerapan aturan Jabar menerima calon peserta didik berdomisili radius zona terdekat sekolah. Paling sedikit 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik diterima. Hal tersebut sesuai Pasal 15 ayat 1, Permendibud Nomor 17 tahun 2017.
Bahkan, kata dia, di PPDB Jabar ditambah menjadi 95 persen. Lima persen kenaikan ditujukan bagi warga luar Jabar. Ketentuan zonasi yang mengacu pada permendikbud ini adalah zona provinsi. ’’Terkait pengaturan zona terdekat, di dalam Permendikbud Nomor 17 tahun 2017 Pasal 15 ayat 3 dijelaskan, bahwa radius zona terdekat ditetapkan pemerintah daerah, sesuai kondisi di daerah dan daya tampung,’’ ujar dia ditemui di kantor Dinas Pendidikan Jabar, Jalan Dr Rajiman Nomor 6, Bandung, Kamis (6/7/17).
Hadadi menjelaskan, setiap calon peserta didik, baik SMA ataupun SMK yang mendaftar melalui jalur non akademik atau berstatus Rawan Melanjutkan Pendidikan (RMP) diberikan insentif melalui pertimbangan jarak sekolah terdekat dengan rumah tinggal, maksimal sejauh 17 Km. Calon peserta didik berstatus RMP ini diberikan kuota sebesar 20 persen, seperti tertuang dalam Pasal 16 ayat 1, Permendikbud Nomor 17 tahun 2017.
“Pemberian insentif bagi calon peserta didik yang mendaftar ke sekolah tidak jauh dari rumah tinggalnya atau tidak lebih dari 17 Km, bertujuan memberi rangsangan kepada para penduduk untuk berada dekat dengan sekolah. Kriteria ini berkaitan dengan mereka yang memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM),” terang dia.
Namun begitu, setiap sekolah berwenang membuat petunjuk teknis (juknis). Artinya, apabila jumlah pendaftar berstatus RMP melebihi kuota, sekolah memiliki parameter lain untuk mempertimbangkan apakah calon peserta didik tersebut diterima atau tidak.
“Jadi, mungkin siswa RMP yang tidak lulus bisa juga disebabkan SKTM tidak lengkap. Tidak ada pernyataan lengkap mutlak dari yang bersangkutan untuk bertanggung jawab. Dan kalaupun sudah lengkap, setiap sekolah memiliki ukurannya tersendiri karena yang penting kuota sudah terpenuhi,” katanya.
Dokumen-dokumen yang memberi poin penting bagi calon peserta didik berstatus RMP adalah Kartu Indonesia Pintar (KIP) dengan poin 9. Lalu, Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) 6 poin. Dan, Program Keluarga Harapan (PKH) yang telah terdaftar 9 poin. Satu hal lain yang mendapat perhatian adalah, setiap sekolah memiliki kuota 3 Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Kuota ini tidak mengganggu calon peserta didik jalur RMP (afirmasi), prestasi, ataupun kerjasama. ’’Setiap sekolah harus memberi pendidikan inklusif untuk penyandang disabilitas. Dengan pertimbangan jarak rumah tinggal yang tidak lebih dari 17 km dari sekolah,” ujar dia.
Adapun terkait penerapan Manajemen Berbasiskan Sekolah (MBS), Hadadi menyampaikan, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 mengenai standar nasional pendidikan bertujuan mencapai delapan standar nasional pendidikan. Yakni, standar isi, kompetensi lulusan, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Contoh, bagi yang mendaftar dari jalur prestasi, sekolah memiliki wewenang untuk menerima siswa berdasarkan prestasi yang akan diterima.
“Beberapa sekolah kita ketahui memang sudah bekerjasama dengan instansi lain, seperti KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) ataupun dispora (dinas pemuda dan olahraga), bagi sekolah yang ingin menerima atlet,” katanya.
Tidak hanya itu, MBS berperan sebagai tindak lanjut dari sekolah dalam membuktikan validitas SKTM ataupun KIP yang dimiliki calon peserta didik. Artinya, sekolah justru menjadi punya wewenang memantau dokumen yang dicantumkan oleh peserta didik sesuai fakta.
Menurut Hadadi, tidak kalah penting adalah semua anak-anak di Jabar harus melanjutkan pendidikan dan tidak harus di sekolah negeri. Pemprov Jabar memiliki siswa lulusan SMA/SMK sebanyak 700 ribu lebih. Dengan daya tampung 200 ribu-an. Jadi, bagi 500 ribu siswa lainnya yang tidak diterima di negeri dapat mendaftar di sekolah swasta. ’’Kami telah memberi dana Pendidikan Menengah Universal (PMU) untuk siswa yang bersekolah di swasta,” ujarnya.
Selain itu, Jabar memiliki lima sekolah terbuka. Berlokasi di Kabupaten Bandung, Bogor, Cianjur, Garut, Pangandaran, dan Sukabumi. Sekolah ini disiapkan bagi mereka yang ingin bekerja selagi bersekolah, melanjutkan pendidikan tinggi, dan atau mempelajari kewirausahaan. Kurikulumnya disesuaikan kebutuhan setiap kategori tersebut, yakni waktu, isi, dan cara.
Saat ini kita sudah memiliki 4.000 anak yang menempuh pendidikan di sekolah terbuka. Tahun ini, kami mempersiapkan 100.000 calon peserta didik yang ingin melanjutkan belajar di sekolah terbuka. Pendaftaran akandibuka pada Agustus tahun ini,” ungkap dia.
Sementara itu, Koordinator Tim Help Desk PPDB Disdik Jabar Eddy Purwanto membantah adanya permendikbud yang diabaikan di PPDB Jabar. Kasus siswa SMK yang tidak diterima meski jarak rumah dekat dengan sekolah, disebabkan karena kuota sudah penuh.
“Contohnya adalah SMK 3 Bandung yang memiliki kuota Calon Peserta Didik Baru (CPBD) sebanyak 720, diminati oleh 772 pendaftar non akademik. Sementara kuota yang diterima hanya berjumlah 210 siswa,” ujarnya.
Secara keseluruhan, jumlah pendaftar SMK jalur non-akademik di Jabar tahun 2017 adalah 44.568, jumlah diterima 25.050, dan tidak diterima 19.518. [SR]***