majalahsora.com, Kota Bandung – Kita patut berbangga bahwasanya wayang Indonesia dinyatakan sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Tak benda Manusia oleh UNESCO (tahun 2003).
Disebut “Karya Agung” tentu saja wayang tidak hanya sekedar tontonan (utile, seni, nikmat) tapi juga jadi tuntunan (dulce, bermanfaat) bagi penontonnya, wayang memang kaya akan falsafah luhung kehidupan. Wayang di Indonesia pun keberadaannya punya sejarah panjang , sudah ada berabad-abad yang silam jauh sebelum datangnya agama Hindu (abad III/IV Masehi).
Di Sunda sendiri istilah Memen (Dalang) dengan berbagai cerita wayangnya yang khas, tercantum dalam naskah Siksa Kandang Karesian yang ditulis tahun 1581 Masehi (1440 Saka) atau dalam masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) Raja Pakuan Pajajaran yang memerintah antara tahun 1482-1521M : Hayang nyaho di sakweh ning carita ma : Damarjati, Sanghyang Bayu, Jaya Sena, Sedamana, Pu Jayakarma, Ramayana, Adiparwa, Korawasarma, Bimasorga, Rangga Lawe, Boma, Sumana, Kala Purbaka, Jarini, Tantri; sing sawatek carita ma memen tanya.
Maka tak heran kalau wayang jadi hal menarik untuk dilirik dan diteliti oleh para ahli baik dari dalam dan luar negeri terutama wayang kulit Jawa, sedangkan wayang golek Sunda sangat jarang diteliti.
“Wayang Kulit Jawa ada ratusan studi dan ratusan buku tetapi Wayang Golek hanya diteliti oleh 2 orang dari luar negeri dan 10 peneliti dari Indonesia. Bahkan wayang golek Sunda dianggap negatif dibanding wayang kulit Jawa, dianggap kurang artistik, hanya hiburan biasa, remeh, terlalu popular, dan dianggap mengalami kemunduran. Para dalangnya pun dianggap merusak bentuk wayang, nilai hiburan wayang golek lebih dihargai dari nilai spriritualnya. Padahal menurut sejarah dahulu wayang golek Sunda memiliki status yang setara dengan wayang kulit Jawa. Nah justru karena itulah saya lebih tertarik meneliti wayang golek Sunda. Memang apanya yang kurang sih?”, Demikian kata Dr.Sarah Anais Andrieu, dalam acara diskusi “Mengaji Wayang” di Garasi 10, Jl. Rebana 10 Bandung, Minggu (4/3/2018).
Menurut penulis buku “Raga Kayu, Jiwa Manusia” ( merupakan disertasinya yang berjudul Performances et Patrimonialisations du Wayang Golek Sundanais (Java Quest, Indonesie) untuk memperoleh gelar Doktor Ilmu Antropologi Sosial dan Etnologi di Ecole des Hautes Erudes en Sciences Sociales Paris, tahun 2010), tentu saja wayang golek lebih menarik untuk diteliti, bahkan secara performance merupakan bentuk yang rumit, dari mulai manipulasi gerak wayang (sabetan), teknik suara, dari ucapan ke nyanyian, kecakapan linguistik, penguasaan tari dan karawitan yang mengiringi pertunjukan hingga ke pembuatan wayang yang menuntut keahlian memahat kayu, pengecatan, kerajinan kulit dan kain untuk kostum. Dari segi sosial maupun artistiknya wayang menuntut suatu pengetahuan aturan-aturan pakem/tetekon. Hal ini menurut Sarah menjadikan wayang golek Sunda setara dengan bentuk-bentuk wayang lainnya di Indonesia sebagai sebuah “teater total”, menyatukan berbagai macam teknik seni.
Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan wayang sendiri menurutnya sangat beraneka ragam, dari mulai pagelaran yang diadakan oleh rombongan wayang hingga penyampaian pesan-pesan filosofis dan religius, dsb. Tak lupa pula usaha perdagangan yang ada di sekitar panggung, jadi diskusi, dsb, “Setiap pertunjukan nyata menjadi sebuah fenomena total yang memperlihatkan dan mengaktualisasikan pembaruan dan interaksinya”, demikian paparnya.
Ketertarikan Antropolog asal Perancis ini tidak hanya kepada kesenian wayang Golek saja, Sarah juga sangat menyukai suasana sosial di tanah Pasundan terutama masarakatnya yang ramah-ramah, juga makanannya (kecuali Cendol sebab pernah sakit perut), bahkan hatinya pun berlabuh pada lelaki Sunda , seorang nayaga kasep, sepupu Dadan Sunandar Sunarya (Putra Giri Harja 3) yang biasa dipanggil Aa Dicki. Dari pernikahannya dikaruniai seorang putra, Laksmana Noah (5 tahun), nama yang gagah pemberian Dalang moyan Asep Sunandar Sunarya (Suargi).
Saat ditanya wartawan, mengenai cara mengenalkan wayang golek kepada generasi muda, jawab Sarah jangan memaksa anak muda untuk mencintai budaya. Tapi dia berharap anak-anak muda harus diberi kesempatan yang lebih untuk menonton wayang golek, yang dipergelarkan di hajatan bukan di dalam gedung, karena itulah pertunjukkan wayang golek yang sesungguhnya.
“Tapi saya optimis dengan keberlangsungan wayang golek ini, masih eksis, terutama di perkampungan kalau di kota memang sudah jarang, akibat dari gaya hidup yang berubah drastis dari zaman dulu ke sekarang. Sekarang kan ongkos nanggap wayang golek mahal, dan nontonnya semalam suntuk sementara besoknya ada kegiatan lain atau harus kerja. Tapi setahu saya 49% masyarakat Sunda hidup di desa, ini kabar gembira, jadi masih bisa tertular lah, bahkan mereka kalau ada pertunjukkan wayang di desa terpencil yang jauh mereka maksakeun ngebela-belain ada yang jalan kaki atau menyewa truk.
Jadi wayang golek masih merupakan acara yang luar biasa bagi masyarakat Pasundan,” begitu katanya.
Sementara yang mempunya hajat Prof, Setiawan Sabana mengatakan, diundangnya pakar wayang asal Perancis yang sudah 11 tahun lebih meneliti wayang golek Sunda ini karena wayang golek menjadi bagian dari kenusantaraan yang di usung Garasi 10. “ Selain itu wayang golek jarang diteliti dan dibukukan, mungkin buku Raga Kayu, Jiwa Manusia karya Sarah ini buku pertama yang komprehensif, sae pisan, tentu manfaatnya banyak, dan melengkapi kajian dunia wayang di Jawa –bBali khususnya,”, kata Kang Wawan (panggilan akrabnya), di hadapan para hadirin, yang terdiri dari seniman, budayawan, dosen serta mahasiswa dan tamu dari Jepang
Garasi 10 untuk Negeri dan Galaksi
Tidak jarang orang ingin berkreasi seni harus menyewa tempat atau gedung dengan harga selangit dan birokrasi yang berbelit-belit, bahkan harus menunggu berdirinya gedung atau padepokan milik sendiri, tapi tidak untuk Prof.Dr. Setiawan Sabana, Guru Besar FSRD (Fakultas Seni Rupa dan Desain) ITB ini telah berhasil “pok–pek–prak” (bukan hanya wacana saja) menyulap garasi mobilnya menjadi “Bale Rancage” (tempat kreatifitas, tempat berkarya).
Kandang mobil berada di rumahnya yang kecil dan sederhana di Jl.Rebana 10 Turangga, Bandung. Berkat tangan dinginnya, disulap fungsinya menjadi tempat diskusi, jadi kelas-kelas kegiatan non formal, tempat pergelaran musik, pameran, bazaar, pemutaran film independen, dsb. Hal itu sudah terkenal hingga ke mancanegara.
10 tahun sudah, Garasi 10 berdiri, seniman, budayawan, akademisi terkenal dari Jawa Barat, luar Jawa Barat dan ,mancanegara pernah hadir di tempat ini. Sebut saja Dodong Kodir (Alm) dengan musik sampahnya yang mendunia, Endo Suwanda (Budaya Nusantara), Bambang Sugiharto (Filsafat), Zaini Hong (Kaulinan Urang Lembur), Tjetjep Rohendi (akademisi), Cece Sobarna (akademisi FIB Unpad), Hawe Setiawan (budayawan Sunda), Mas Nanu Muda (Bah Nanu, Seniman), Acep Iwan Saidi (Kang Ais), begitu juga workshop Musik Spanyol, Keroncong Jentik, Tembang Sunda, Jentreng –Tarawangsa Rancakalong Sumedang, hingga ke anak-anak balita yang berkreasi seni (Garasi Membina Generasi) pernah hadir di tempat ini. [SR-Asep Gp]***