Rumah Bersama itu bernama Indonesia. Sebuah solusi genius, ketika para pendiri bangsa bersepakat menetapkan Pancasila sebagai landasan sebuah negara Indonesia yang merdeka. Menurut pengakuannya, Soekarno merenungkannya selama bertahun-tahun, khususnya ketika sedang menjalani masa pembuangan di Ende, Flores. Saat itu Belanda masih berkuasa, sementara Eropa belum ada tanda-tanda akan bergolak.
Baiklah, kita renungkan kembali sekarang, manakala Indonesia hampir genap satu abad menjadi bangsa yang berdaulat. Bagaimana mungkin sebuah kepulauan yang demikian luas, ribuan pulau, berbagai etnis, budaya serta agama bersepakat untuk bernegara. Benar, pernah muncul berbagai upaya untuk melepaskan diri, seperti terjadi di Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan serta Maluku Selatan. Upayanya merupakan perlawanan bersenjata, demikian pula untuk mengatasinya.
Tidak ada yang berhasil. Bahkan Aceh, yang melakukan perlawanan paling lama akhirnya bersedia menandatangani berbagai konsesi. Apakah itu berarti Rumah Bersama dapat kita huni dengan penuh damai dan sejahtera?
Mari kita tengok kembali Pancasila itu sendiri. Apa yang kurang di dalamnya? Landasan agama, demokrasi, keadilan, kebangsaan, semua tercantum di sana. Mestinya, sekali lagi mestinya, rumah bersama yang bernama Indonesia sudah berkembang sedemikian rupa.
Di sanalah nilai-nilai agama menjadi topangan utamanya. Di sanalah demokrasi berjalan dengan baik. Di sana pula keadilan bisa diwujudkan secara merata dan dinikmati oleh semua warga negara. Apakah memang semua itulah yang sudah kita rasakan secara bersama?
Tidak perlu segan-segan. Jawabannya memang belum. Artinya prosesnya berjalan terus. Kita belum kehilangan harapan. Lalu, di mana titik terang itu akan kita dapatkan? Jawabannya tidak perlu dicari ke mana-mana. Laksanakan Pancasila dengan benar.
Alkisah, suatu saat Presiden Soekarno pernah bercakap-cakap dengan Presiden Josif Broz Tito. Ketika itu negara yang bernama Yugoslavia sedang berjaya, dan menjadi salah satu pelopor gerakan Non Blok yang digagas Soekarno. Yugoslavia merupakan negara kesatuan. Di masa Perang Dunia Kedua, Tito merupakan salah satu pejuang melawan Nazi Jerman, dari berbagai etnis.
Mereka dipersatukan menghadapi musuh bersama. Setelah Nazi Hitler kalah, Tito menggabungkan berbagai etnis tersebut mendirikan sebuah negara yang bernama Yugoslavia.
Rupaya, Tito menyadari betul betapa rawannya persatuan sejenis itu. Maka dia bertanya kepada Soekarno dengan nada sangsi, apa yang menyebabkan Indonesia dapat dipersatukan. Jawaban Soekarno hanya satu kata, Pancasila. Itulah keyakinannya.
Namun sejarah berkata lain. Sepanjang berkuasa Soekarno tergiur oleh berbagai godaan yang datang dari berbagai arah. Di samping itu godaan terbesarnya adalah dirinya sendiri. Dia sangat terobsesi untuk menjadi seorang pemimpin besar, pemimpin dunia, pemersatu gerakan yang tidak pro Blok Barat maupun Blok Timur.
Saat itu Amerika Serikat dan Uni Soviet terlibat Perang Dingin yang implikasinya memengaruhi negara-negara Asia-Afrika yang baru merdeka, termasuk Indonesia.
Mungkin sekarang kita bisa mengatakannya, Soekarno terjebak. Kebijakan utama pemerintahannya adalah kebijakan politik, termasuk di bidang militer. Terbius oleh keberhasilannya melaksanakan Dwikora, dia kemudian mengumandangkan Trikora. Sebuah langkah, yang terbukti kemudian, mubazir bahkan mencoreng Soekarno itu sendiri.
Apa kepentingannya kita merenungkan itu kembali? Bukankah rumah bersama yang bernama Indonesia sedang aman-aman saja?
Justru karena itulah bangsa ini harus menengok ke arah perjalanannya di masa lalu. Bukankah Soekarno sendiri yang pernah bilang, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah? Bukankah seperti dikutip P Swantoro, masa lalu selalu aktual?
Maka sewajarnyalah jika jejak sejarah rumah bersama yang bernama Indonesia ini kita baca kembali. Kita periksa kembali. Siapa tahu ada banyak tikus di sana.
Lihatlah suasana pemilihan presiden tahun ini (2024). Prosesnya sangat menguras emosi. Yang mencuat justru ego yang sangat kuat. Banyak tudingan yang diarahkan kepada tindakan sewenang-wenang. Semuanya diperlihatkan secara telanjang. Dengan senyum pula. Mengapa sangat terkesan gaduh? Bukankah Pancasila tidak menyarankan ke arah seperti itu?
Di manakah nilai-nilai ketuhanan, prinsip-prinsip demokrasi, serta azas keadilan yang sudah kita sepakati itu?
Wajib kita bertanya seperti itu, karena landasan di mana bangunaan rumah bersama yang bernama Indonesia ini didirikan, masih tetap Pancasila.
Kalau benar-benar masih mempercayainya, mengapa tidak dilaksanakan sepenuh hati?
Apakah kita akan membiarkan rumah bersama yang bernama indonesia ini dihuni oleh manusia-manusia yang culas?***