Silvariyadi Rahman, narasumber kegiatan Diskusi Rancage Revolusi Sampah ‘Pengelolaan Sampah Bandung Raya’
majalahsora.com, Kota Bandung – Bandung Raya (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat) memiliki masalah klasik mengenai pengelolaan dan pengolahan sampah yang krodit. Penyebabnya, ada beberapa hal, di antaranya, kesadaran masyarakat, kebijakan pemerintah, sarana prasarana, penggunaan teknologi tepat guna, dan lainnya.
Upaya untuk menanggulangi dan solusi mengatasi masalah sampah tersebut, Pokja Lingkungan Hidup dan Budaya, Gerakan Pilihan Sunda, adakan kegiatan Diskusi Rancage dengan tema Revolusi Pengelolaan Sampah Bandung Raya.
Hadir sebagai pembicara Anang Sudarna, Kepala BPLHD Prop. Jabar, Dadan Ramdan, Direktur Eksekutif Walhi Jabar, serta Silvariyadi Rahman, sebagai Pakar Kebijakan Publik. Dihadiri puluhan pemerhati lingkungan dan pewarta. Dilaksanakan Rabu, 14 Maret 2018, di Eyang Martha Resto Cafe, Jalan Van de Venter No. 14, Kelurahan Kebon Pisang, Kecamatan Sumur Bandung.
Salah satu pembicaranya Silvariyadi, menuturkan bahwa ada beberapa hal untuk melakukan Revolusi Pengolahan Sampah di Bandung Raya. Khususnya menangani sampah yang belum teratasi di sumbernya.
“Untuk Kota Bandung sendiri setiap hari menghasilkan 5000 ton sampah, baru terangkut sampai TPA Sarimukti (tempat pembuangan akhir) sebanyak 1200 ton, maka masih ada sisa 3000-an ton yang belum teratasi,” ujarnya.
Anang Sudarna, Kepala BPLHD Prop. Jabar, sedang memaparkan peran lembaga yang dipimpinnya
Ia memberi saran agar pemerintah bisa menyelesaikan sampah dari sumbernya. Untuk itu perlu sosialisasi dan edukasi yang serius. Seperti mengenai daur ulang, pemilahan sampah, diadakannya teknologi dan cicular city (pengolahan sampah yang memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat).
“Selain itu harus memiliki good investment yang zero waste, sehingga sampah memiliki nilai infestasi yang baik, sehingga banyak yang tertarik. Secara investasi sampah dibuang tiap hari, kalau daur ulang dan penyelesaian akhirnya tepat maka akan memiliki nilai baik,” ujarnya.
Masih menurut Silvariyadi, biaya retribusi sampah pun bisa dioptimalkan. “Retribusi sampah Kota Bandung itu antara Rp. 20.000 sampai dengan Rp. 30.000 per-KK (kepala keluarga), apabila dikalikan 800.000 KK yang banyar, maka akan terkumpul Rp 16 miliar perbulan, setahun Rp. 200 miliar,” terangya
Para pemerhati lingkungan yang menghadiri kegiatan
Apabila retribusi dioptimalkan dan pembayaran dari warga konsisten, bisa terkumpul Rp. 200-Rp. 400 miliar. “Saya pikir itu bisa membayar pertugas sampah secara UMR (upah minimum regional). Alokasi dana retribusi pun bisa dijadikan insentif untuk pengelolaan sampah di masing-masing RT/RW,” imbuh pria berkumis.
Penerapan teknologi tepat guna pun tidak terlepas dari pembahasannya. Seperti insalator yang ramah lingkungan, tidak berbapu, tidak berasap serta tidak menimbulkan penyakit.
Revolusi Sampah bisa berhasil apabila kebijakan politik pemerintahnya diterapkan secara serius serta didukung oleh masyarakatnya.
“Penanganan sampah di negara kita beda dengan negara lain, apalagi dengan negara maju. Di kita mah ada yang masih membuang kasur, kursi bekas ke sungai. Belum lagi masalah sampah/limbah industri dan rumah sakit. Makanya harus punya konsep sendiri. Harus dibiasakan dan dicoba warga mulai menerapkan memilah sampah organik dan anorganik, difasilitasi oleh pemerintah dengan truk pengangkutnya. Truk khusus, beda cat, umpamanya untuk sampah organik, diangkut oleh truk warna hijau, anorganik truk warna merah. Jadwal pengangkutannya pun beda hari, Senin truk organic, Selasa anorganik dan seterusnya. Nantinya sudah menjadi masyarakat pemilah, jangan dicampur sepert sekarang. Setelah itu di TPS (Tempat Pembuangan Sampah) dan TPA nya menggunakan teknologi tepat guna, maka bisa terlaksana zero waste,” pungkasnya [SR]***