majalahsora.com, Kota Bandung – Belum lama ini kita dikagetkan dengan kejadian bom bunuh diri yang dilakukan oleh jaringan teroris JAD di Mapolrestabes Medan, Sumatra Utara.
Pihak kepolisian pun bertindak cepat, untuk mengantisipasi kejadian serupa tidak terulang di wilayah lainnya.
Beberapa orang terduga terorisme pun berhasil ditangkap di berbagai daerah.
Di antaranya penangkapan terhadap dua orang terduga teroris J dan AA, oleh Detasemen khusus (Densus) 88 Antiteror di Kecamatan Rajagaluh Kidul, Kab. Majalengka, Propinsi Jabar.
Kedua terduga teroris yang ditangkap pada operasi senyap, Selasa (19/11/2019) oleh Densus 88 itu, kini telah diamankan oleh pihak berwajib
Dari berbagai informasi yang dihimpun AA berasal dari Cakraningrat, sedangkan J dari Desa Ariyakiban, Kec. Rajagaluh Kidul, Jawa Barat.
Kejadian itu pun mendapat perhatian dari Prof. Obsatar Sinaga, Guru Besar FISIP UNPAD yang juga Rektor Universitas Widyatama.
Menurutnya penangkapan kedua orang terduga teroris di Majalengka itu, tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian bom bunuh diri di Medan serta bukan dari jaringan JAD.
“Saya kira harus di cek secara lebih mendalam dan mendasar, apakah mereka termasuk jaringan JAD atau bukan,” kata Prof Obi, sapaan akrabnya, Selasa (20/11/2019) sore, saat ditemui di ruang kerjanya.
“Kalau saya lihat sebenarnya rangkaian penangkapan ini merupakan proses kemajuan, dari tindakan preventif yang dilakukan oleh pihak kepolisian,” imbuhnya.
Lebih jauh ia menjelaskan bahwa menjelang tahun baru dan akhir tahun biasanya ada gerakan ke arah itu (teror). Umumnya terkonsentrasi di daerah urban dan kota besar seperti di Jabar yang setiap tahun suka terjadi.
Biasanya saat menjelang perayaan Natal dan tahun baru dilakukan pengamanan khusus di tempat ibadah Umat Kristiani.
“Hubungannya paling ke situ. Kalau kaitannya dengan peristiwa bom bunuh diri di Medan harus diperiksa betul-betul apakah mereka terkait atau tidak,” tambah Prof Obi, Penulis Buku “Terorisme Kanan Indonesia”.
Kemungkinan lain kata Prof Obi, mereka ditangkap karena sudah tercium lama oleh petugas. Kemudian perpindahan mereka sudah diketahui oleh kepolisian. Lalu saat menjelang tahun baru mereka ditangkap.
“Daripada mereka sudah menyusun gerakan yang membahayakan, biasanya petugas mengantisipasinya sedari dini. Jangan sampai ada gerakan membahayakan yang masif atau disebut terere,” kata Prof Obi.
“Biasanya terpapar dari penangkapan di daerah tertentu, dan ada nama mereka, kemungkinan sampai situ,” sambungnya.
Ia pun memberi perumpamaan bahwa sel jari tangan kanan tidak nyambung dengan sel jaringan tangan kiri, meskipun yang ngasih makan sama.
Para terduga teroris di Majalengka tidak ada hubungannya langsung dengan jaringan JAD, tetapi kemungkinan besar terpapar dari data yang ditemukan di tempat lain.
Perpindahan mereka ke Rajagaluh, perbatasan Majalengka, perbatasan Kuningan pun disinyalir karena daerah itu cukup aman bagi mereka untuk mengembangkan diri.
Selain tempatnya masih sulit di jangkau alat komunikasi, mereka juga memperhitungkan hal itu tidak akan terduga serta sampai terendus oleh kepolisian.
Jaringan JAD sendiri dari pengamatan Prof Obi kalau melakukan gerakan, bersifat sporadis.
“Sebenarnya mereka bukan rakyat yang terlatih, tidak siap melakukan serangan yang terencana dengan baik. Mereka melakukan tindakan teror untuk menakut-nakuti. Untuk pindah tempat saja belum pandai,” kata Prof Obi.
Saat awak media menanyakan tindakan apa yang harus dilakukan oleh pihak berwajib setelah mereka tertangkap, ia pun berpendapat agar mereka diadili terlebih dahulu.
Penangkapan itu memberikan kesempatan melalui undang-undang darurat terorisme.
Mereka bisa ditahan untuk tindakan preventif dan proses hukum sampai selesai dan ada inkrah, lalu dilakukan pembinaan.
“Kalau untuk pembinaan ranahnya ada di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bukan ranah polisi, kecuali Binmas. Itu juga pembinaannya di lingkungan RT/RW setempat,” pungkasnya. [SR]***