majalahsora.com – Gugum Gumbira Tirasonjaya telah tiada. Tokoh pencipta Jaipongan ini wafat pada Sabtu 4 Januari 2020, pukul satu dinihari. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka di Jalan Kopo Bandung, Jawa Barat. Kemudian jasadnya dimakamkan di Cipadaulun, Majalaya Kabupaten Bandung, tempat peristirahatannya terakhir, di samping makam istrinya Euis Komariah, yang wafat pada tahun 2011.
Gugum Gumbira, putra sulung dari lima bersaudara keluarga Raden MS Mikarta Tirasonjaya dan Hajah Oyoh, yang sama-sama berlatar belakang akhli silat. Ayahnya seorang guru silat. Perguruannya bernama “Patri”, yang di sini berarti “telak” atau “tepat”. Diartikan dengan sebuah pukulan yang tepat, telak, akurat pada sasaran.
Dari ayahnya Gugum banyak mendapat pengetahuan tentang silat dan ketuk tilu. Pada masa puber mendorong Gugum ikut larut dalam dunia anak muda. Mulailah Gugum menyenangi tarian pergaulan kala itu yakni dansa twist, Cha Cha Cha, Jive dan Cheek to Cheek.
Mencipta Tari Anak Muda
Gugum sagat ingin menciptakan tarian yang disukai anak-anak muda. Ia yakin ada sebuah bentuk tarian yang dinamis dalam khasanah budaya Sunda, gampang dipelajari dan memiliki beat yang enak didengar. Untuk itu Gugum melakukan pencarian ke beberapa tempat. Gugum belajar tari ketuk tilu pada beberapa guru. Antara lain, Saleh Natasenjaya BE, Aki Sanudi dari Ujungberung, pimpinan Topéng Banjét Sukawama dari Karawang, pimpinan Topéng Banjét Reman, Nandang Barmaya, Enoch Atmadibrata, Mang Samin, dan banyak lagi.
Saat itu ketuk tilu merupakan tarian yang amat populer, dan bisa dibawakan siapapun, di mana pun. Saat itu ketuk tilu sangat digemari, oleh rakyat biasa, kalangan pelajar dan mahasiswa. Mungkin pada mulanya Ketuk Tilu hidup dan berkembang di daerah Priangan. Tapi setelah Gugum melihat dan menyimak dari berbagai pencariannya itu, ternyata tarian tersebut memang menyebar ke seluruh Jawa Barat, antara lain terlihat dari banyak persamaan dalam gerakan-gerakannya
Mulailah Gugum melakukan sebuah pencarian lebih intensif. Ia mulai dari Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan (tayuban, sintrén dan ogél), Cirebon (bebareng), Érétan (tarling), Subang (jaban), Karawang (nambel), Bekasi (nyawér), Bandung (pamasih), dan lain-lain. Ternyata Gugum melihat banyak persamaan bentuk tari rakyat di seluruh Jawa Barat. Mulailah Gugum mencipta. Tarian pertama yang diciptakannya adalah Késér Bojong, lalu Réndéng Bojong dan Pencug.
Dalam mencipta Gugum selalu menyertakan arti dari tariannya. Misalnya pada Tari Késér Bojong. Ia mentafsirkannya sebagai suatu langkah kemajuan. Artinya manusia itu harus bergeser, tidak cukup berdiri di satu tempat saja. Késér artinya bergeser dan Bojong adalah Bojongloa, tempat tinggalnya. Artinya Jaipongan harus bergeser, tidak cukup hanya sampai Bojongloa saja. Dan itu terbukti.
Yang lainnya, tarian Rawayan. Secara harfiah rawayan berarti jembatan, titian atau penyeberangan. Ia melambangkan hidup manusia harus melalui titian agar bisa mencapai tujuan. Gerak lambat dalam koreografinya melambangkan kehati- hatian, jangan sampai jatuh sebelum sampai tujuan. Begitu pula Tarian Jalak Ngejat. Burung jalak termasuk burung yang gagah, lincah meski tubuhnya tidak terlalu besar. Dilambangkan pada anak muda. Gugum mengibaratkan kepada anak muda agar bergerak, terus bergerak, untuk mencapai kemajuan.
Walau usianya sudah mencapai 70-an, tapi daya fikirnya masih cemerlang. Dalam dadanya tetap menggebu keinginan untuk mencipta dan mencipta. Namun Tuhan berkehendak lain. Ia harus kembali ke Rahmatullah di usianya yang ke 74. Inalillahi wa innailaihi rojiun, Selamat jalan Pak Gugum. [SR-Ahmad Mualif/Iip]***