Salah satu program pemerintah Republik Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan adalah program Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Peran pendiri bangsa ketika itu sadar betul bahwa penduduk Indonesia, ketika itu jumlahnya di kisaran 60 juta orang, sebagian besar masih tidak bisa membaca dan menulis. Hal itu berbeda sekali dengan para pemimpin yang sebagian besar berpendidikan sekolah Belanda, termasuk pendidikan tingginya.
Pemerintah kolonial Belanda memang terbilang pelit dalam urusan pendidikan. Agar seseorang dapat menempuh jenjang pendidikan, dilakukan seleksi yang cukup ketat, terutama bagi kalangan pribumi. Untuk rakyat biasa disediakan Sekolah Rakyat (SR, setingkat pendidikan dasar), sementara untuk kalangan menak (khususnya pejabat pemerintahan) tersedia sekolah-sekolah dengan pengantar bahasa Belanda.
Sampai dasawarsa 1950-an, sekolah tingkat pendidikan dasar masih disebut SR, sebelum belakangan bernama sekolah dasar (SD). Meskipun demikian, tidak banyak warga pribumi yang lulus SR sekali pun. Umumnya warga pribumi menempuh pendidikan nonformal di madrasah. Itulah sebabnya meskipun mereka tidak bisa membaca dan menulis aksara latin tapi cukup paham membaca dan menulis huruf arab, terutama mengaji Alquran.
Kalau direnungkan kembali sekarang, sekolah-sekolah setingkat SR itu sebenarnya dapat diselenggarakan dengan baik. Guru-gurunya yang berpendidikan SGB (sekolah guru setingkat SMP) memiliki disiplin yang tinggi. Mereka rela setiap hari berjalan kaki sampai sejauh 10 km untuk menuju sekolahnya.
Fasilitas di SR pun terbilang lumayan. Pemerintah menyediakan keperluan membaca dan menulis. Buku-buku terbitan Balai Pustaka sampai ke sekolah di pelosok meskipun jumlahnya terbatas. Demikian juga alat tulis, semisal tinta dan pensil. Bahkan buku tulis pun diberikan cuma-cuma. Mereka yang pernah menempuh pendidikan pada dasawarsa 1950 pasti masih ingat secara berkala mereka menerima buku tulis dari pemerintah.
Ada dua macam buku tulis yang diterima oleh siswa yakni yang sampulnya berwarna telor asin dan disebut buku Roterdam serta yang sampulnya berwarna violet, disebut Europe. Ada pula buku tulis yang dilengkapi kertas lakmus, yakni sejenis kerta untuk menyerap tinta yang masih basah.
Bahwa perhatian pemerintah terhadap kondisi pendidikan cukup besar, murid SR waktu itu dalam waktu-waktu tertentu kadang menerima pembagian susu, yang diminum di sekolah. Jadi, jika belakangan ini ada pasangan capres/cawapres yang dalam kesempatan debat menawarkan program pembagian susu untuk siswa sekolah, hal itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Sudah diberlakukan justru pada saat pemerintah kita masih relatif susah.
Yang menarik juga, meskipun saat itu fasilitas masih sangat terbatas, program pemerintah di bidang pendidikan relatif dapat diselenggarakan dengan baik.
Distribusi alat tulis misalnya, hanya sebatas memanfaatkan pengantaran lewat pos. Tapi pengirimannya berlangsung dengan baik. Meskipun belum ada jasa pengantaran seperti sekarang.
Dengan latar belakang kondisi pendidikan seperti itulah ketika pemerintah menyelenggarakan program PBH, yang ukuran untuk saat itu perosesnya berlangsung secara masif. Dan hasilnya cukup sukses.
Berkaitan dengan keberlangsungan proses pendidikan sampai saat ini, pelaksanaan program PBH ini layak untuk kita catat. Titik pentingnya, program yang baik dan sangat bermanfaat untuk masyarakat terbukti dapat dilaksanakan dengan baik.
Apa kuncinya? Disiplin.
Coba bayangkan, para guru (yang sekali lagi perlu ditekankan, mereka hanya lulusan SGB) melaksanakan berbagai tugas dengan baik dan bertanggungjawab meski tugas tersebut di luar tugas utamanya sebagai pengajar. Tidak ada honor tambahan, termasuk untuk ongkos transportasi. Semuanya dilaksanakan dengan penuh kerelaan.
Pasti kita tidak mungkin membandingkan kondisi saat itu dengan kondisi saat ini. Meskipun demikian, ada yang tidak boleh dilewatkan, yakni kesadaran betapa pentingnya pendidikan. Yang namanya bangsa, tidak mungkin akan dapat meraih kemajuan tanpa pendidikan yang semestinya.
Coba kita lihat. Anggaran pemerintah saat itu masih sangat kecil. Sangat jauh bedanya dengan anggaran pemerintah sekarang. Ingat akan hal itu, timbul pertanyaan yang sangat sederhana.
Mengapa belakangan ini kita sangat sering berkeluh kesah berkaitan dengan urusan pendidikan? Anggaran pendidikan sudah memenuhi ketentuan dalam konstitusi. Kita juga sudah memiliki televisi, satelit, jalan tol, internet. Apa yang kurang? Berbagai argumen sudah sangat banyak dikemukakan, diseminarkan serta dirumuskan dalam berbagai keputusan.
Mengapa keluh kesah itu belum juga hilang? Barangkali, yang kita butuhkan bukanlah sesuatu yang muluk-muluk atau pelik untuk diperdebatkan. Siapa tahu, jalan keluarnya cukup sederhana. Yakni introspeksi.***