Pemerintahan Yang Mulia (Raja Inggris) memandang untuk mendukung suatu rumah bangsa Yahudi di Palestina dan akan memberikan upaya terbaiknya untuk memfasilitasi pencapaian tujuan ini, dan harus benar-benar dipahami bahwa (dalam hal ini) tidak ada upaya untuk mengancam keberadaan komunitas non-Yahudi di Palestina maupun hak-hak dan status politik yang dimiliki warga Yahudi di negara lain.
Demikianlah bunyi Deklarasi Balfour yang disusun tahun 1917. Deklarasi yang disebut dengan mengatasnamakan Mentri Luar Negri Inggris tersebut itulah yang menjadi dasar pertimbangan berdirinya negara Israel di Palestina. Saat itu Eropa sedang dilanda Perang Dunia Pertama. Sementara selepas perang tersebut wilayah Palestina yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Turki Usmani, berubah status menjadi protektorat Inggris sebagai akibat kalahnya pihak Turki dalam perang tersebut.
Deklarasi Balfour dibuat secara sepihak. Kendati mayoritas warga yang tinggal di sana merupakan warga Palestina, jumlah warga Yahudi tidak lebih dari 10%, tapi pihak Inggris tidak merasa wajib mengajak warga Palestina dalam penyusunan deklarasi tersebut. Sejak saat itu, dengan dukungan pihak Inggris sebagai pemegang kekuasaan, migrasi warga Yahudi ke wilayah Palestina terus berlanjut secara sistematis. Dengan berbagai alasan warga Palestina diusir dari tanah airnya sendiri.
Menurut catatan, penyusunan naskah Deklarasi Balfour direncanakan selama dua tahun. Namun, jika memperhatikan bunyi teksnya yang sangat ringkas, diduga memang sengaja dibuat seperti itu. Pesannya, dokumen tersebut bisa ditafsirkan secara luas, terutama demi kepentingan warga Yahudi. Mereka secara sistematis mengembangkan opini bahwa wilayah Palestina merupakan Tanah Yang Dijanjikan bagi warga Yahudi, sebagaimana mereka pahami berkaitan dengan pesan agamanya. Padahal bukti sejarah menunjukkan bahwa warga yang pertama-tama tinggal di wilayah tersebut adalah warga Palestina bukan warga Yahudi.
Deklarasi Balfour kemudian mewujud dalam bentuk negara Israel tahun 1948. Saat itu opini dunia bisa dikatakan sedang bersimpati kepada pihak Yahudi, sebagai korban kekejaman pihak Nazi Hitler dalam Perang Dunia Kedua. Faktanya dengan sengaja dibesar-besarkan. Misalnya disebutkan warga Yahudi yang menjadi korban kekejaman Nazi Hitler (holocaust) mencapai 5 juta jiwa.
Dengan dukungan penuh Inggris dan Amerika Serikat, Israel dengan cepat menjadi negara kuat di wilayah Arab. Ketika pecah perang tahun 1967, di mana Israel diperangi gabungan beberapa negara Arab termasuk Mesir, hasilnya sangat mengejutkan. Justru Israel yang muncul sebagai pemenang. Sebagai akibatnya, Israel melebarkan wilayahnya menjadi lebih luas dari semula. Sejak saat itu, Israel tak ada hentinya merebut wilayah-wilayah dari pihak warga Palestina. Sebaliknya warga Palestian yang berstatus sebagai pengungsi terus bertambah. Sebagian besar wilayah Palestina berada di bawah kekuasaan Israel. Sementara warga Palestina tinggal di dua wilayah yang terpisah, yakni Gaza dan Tepi Barat. Kedua wilayah tersebut tidak bersepakat. Tepi Barat dikuasai otoritas Palestina sementara Jalur Gaza berada di bawah pengaruh Hamas.
Ketika pihak Hamas melontarkan roket untuk menyerang wilayah Israel awal Oktober tahun silam, tidak sedikit pihak yang merasa heran dan bertanya-tanya. Mengapa Hamas melakukan serangan seperti itu?
Akibatnya, terus berlanjut sampai sekarang. Sebagai balasan, dengan alasan memberikan perlindungan terhadap keamanan warganya, pihak Israel menyerang habis-habisan wilayah Gaza. Sampai saat ini serangan tersebut sudah berlangsung selama 7 bulan. Bukan jangka waktu yang pendek. Bahkan selama bulan Ramadan pun serangan pihak Israel tidak berkurang.
Saat ini Gaza benar-benar sudah berubah menjadi tumpukan raksasa puing-puing beton. Israel benar-benar kalap. Tidak ada bangunan yang disisakan. Semua dihancurkan, termasuk masjid, rumah sakit dan sekolah. Korban terus bertambah. Warga Gaza yang selamat, bukan lagi berstatus sebagai warga yang memiliki kedaulatan. Mereka sudah menjadi pengungsi yang tinggal dalam tenda-tenda darurat. Makanan, air bersih maupun obat-obatan susah didapat.
Bukan hanya sebatas itu. Benyamin Netanyahu, sebagai PM Israel yang sedang berkuasa sekarang secara terang-terangan sesumbar bahwa peta Gaza ke depan akan berubah.
Tragedi kemanusiaan yang menimpa warga Palestina di Gaza tidak bisa dikatakan sebagai korban akibat perang. Mereka adalah korban persekongkolan sistematis antara Amerika Serikat dengan sekutunya di Eropa. Kekuatan mesin perang yang mereka miliki bisa dikatakan tidak bisa ditandingi oleh pihak mana pun. Menurut perkiraan, sekitar 70% persenjataan Israel berasal dari AS, dan 20% lagi dikirim dari Jerman. Satu-satunya yang bisa dikatakan, pemusnahan warga Palestina di Gaza justru disaksikan oleh segenap warga di seluruh dunia.
Dalam Perang Dunia Kedua, kekejaman Nazi Hitler di Eropa dan ekspansi militer kekaisaran Jepang di Asia dan Pasifik, disepakati sebagai tragedi kemanusiaan yang harus dilawan dan dikalahkan. Hitler jatuh, umat manusia merasa terbebas dari ancaman kemanusiaan yang mengerikan.
Opini warga dunia terhadap kekejaman kemanusiaan Israel di Palestina bisa dikatakan sangat berkebalikan. Jika kekejaman Hitler dan militer Jepang dilawan dengan kekuatan militer gabungan Eropa dan AS, yang terjadi di Palestina saat ini justru sebaliknya. Yang dilakukan hanya sebatas bantuan kemanusiaan. Sementara mesin perang Israel dibiarkan bertindak semena-mena di wilayah Gaza, tidak ada satu pun hukum atau kesepakatan internasional yang berusaha mencegahnya dengan sungguh-sungguh.***