Menurut Syeikh Muhammad Abdul Athi Buhairi, dalam Alquran ada 89 ayat yang dimulai dengan Ya ayyuhal ladzina amanu, Wahai orang-orang yang beriman. Itulah seruan kepada orang yang beriman. Yang berkaitan dengan kita sekarang ini adalah seruan kepada orang yang beriman untuk melaksanakan ibadah puasa. Yang dimaksud adalah puasa wajib selama bulan Ramadan.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Albaqarah 183).
Secara sederhana, dalam ayat tersebut terkandung dua maksud. Yakni, seruan agar orang-orang beriman melaksanakan puasa serta tujuan puasa itu sendiri sebagai langkah atau upaya untuk mencapai derajat takwa.
Cukup menarik di dalam ayat tersebut karena dengan jelas dikatakan bahwa yang diseru melaksanakan puasa itu orang-orang beriman. Mungkin akan muncul pertanyaan sederhana, mengapa puasa hanya diwajibkan kepada orang-orang beriman, sementara puasa juga sudah diperintahkan kepada umat terdahulu, yakni umat sebelum turunnya risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw.
Berkenaan dengan kategori keimanan itu sendiri, sudah menjadi hafalan sejak seseorang mulai belajar mengaji. Yang namanya Rukun Islam dan Rukun Iman sudah demikian terang menjelaskan dan tidak ada yang meragukannya.
Hadis mengabarkan bahwa iman adalah pengakuan dengan lisan, dibenarkan oleh hati dan diamalkan oleh anggota badan.
Menurut riwayat, Ibnu Abbas pernah memberi semacam penjelasan tentang makna ayat ya ayyuhal ladzzina amanu ini. Kata beliau, jika mendengar ayat itu disebut, persiapkanlah baik-baik telingamu karena sesungguhnya seruan itu pasti menyuruhmu kepada kebaikan atau melarang kepadamu dari sebuah kejahatan.
Tentu sangat menarik memperbandingkan antara kebaikan dan kejahatan. Tirai pemisahnya, bila bisa dikatakan demikian, adalah seruan ya ayyuhal ladzina amanu itu tadi. Dengan kata lain, sebatas beriman saja dipandang masih belum cukup.
Kategori beriman, jika dibaca di balik makna kalimatnya, masih memungkinkan seseorang tergoda karena membedakan yang baik dengan jahat mungkin saja bisa dimanipulasi dengan berbagai alasan, tergantung pada situasi dan kondisi. Sementara, pernyataan beriman itu sendiri dianggap sudah cukup sebatas diucapkan dengan lisan.
Di sini kita memahami apa yang diucapkan Ibnu Abbas di atas. Menyuruh kepada kebaikan, salah satunya adalah perintah melaksanakan puasa di bulan Ramadan. Kita mengenalnya sebagai puasa wajib. Kalau terpaksa harus ditinggalkan ada kewajiban untuk melaksanakannya di lain kesempatan atau menggantikannya lewat memberikan fidyah.
Allah sendiri menjelaskan bahwa praktik ibadah yang satu ini terbilang unik. Hanya kita sendiri dan Allah yang mengetahui bahwa kita benar-benar sedang berpuasa. Sementara terhadap orang lain mungkin saja kita berdusta mengaku sedang berpuasa padahal sebenarnya tidak. Yang diajak bicara itu tidak akan tahu. Berbeda dengan salat di mana orang lain bisa menyaksikan praktiknya, tidak demikian dengan puasa.
Bagaimana dengan melarang dari kejahatan? Dalam situasi seperti ini ayat ya ayyuhal ladzina amanu secara sederhana bisa dimaknai sebagai peringatan. Ingatlah, bahwa kamu itu orang beriman. Jangan melakukan sesuatu apa pun yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan.
Bukankah pemahaman maknanya sedemikian jauh? Potongan ayatnya sebenarnya pendek dan sangat sederhana. Wahai orang-orang yang beriman. Tapi konotasinya berkelindan, erat kaitannya dengan apa-apa yang kita lakukan. Kita seolah ditagih, bagaimana tingkah lakumu sebagai konsekuensi orang yang telah mengaku beriman. Karena keimanan sudah diikrarkan, akibatnya ikrar itu mengikat. Bisa diartikan pula keimanan adalah pernyataan membuat batas mana yang baik mana yang jahat.
Batas itu tidak boleh ditabrak atau dilangkahi. Pernyataan kita sendirilah yang membuat batas tersebut. Lebih jauhnya, yang namanya keimanan tidak cukup sebatas disampaikan secara lisan.
Akan lebih panjang lagi jika diurut sampai ke ujung, yakni tujuan puasa itu tak lain agar orang yang beriman itu bertakwa.
Apakah makna takwa? Bagaimana pula konsekuensinya? Hal ini sudah sangat sering diutarakan oleh para ustad, ajengan dan ulama. Tapi masalahnya, mesti pengertiannya sudah banyak diuraikan dengan argumentasi yang sangat sahih, praktik atau pengamalannya patut dipertanyakan.
Terlalu banyak bukti yang menunjukkan bahwa pemaknaan atau seruan kepada orang beriman yang banyak tertera dalam Alquran tersebut lebih banyak sebatas lisan. Padahal kalau kembali kepada yang diucapkan Ibnu Abbas di atas, bisa dikatakan pengertiannya sangat sederhana.
Siapkanlah telingamu baik-baik, karena sesungguhnya seruan itu pasti menyuruhmu kepada kebaikan, atau melarang kepadamu dari sebuah kejahatan.
Apakah kita masih tidak mampu membedakan yang mana kebaikan dan yang mana kejahatan?***