majalahsora.com, Kota Bandung – Nadiem Makarim Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI yang baru merupakan seorang muslim.
Mantan Bos Gojek itu menikahi Franka Franklin, istrinya di ‘Pulau Dewata’ Bali empat tahun silam.
Pada momen bahagia itu Nadiem yang memakai jas abu-abu tampak sumringah dengan istrinya yang memakai gaun putih. Franka pun terlihat mengenakan kalung salib di lehernya.
Di kesempatan berbeda Nadiem pun menemani putrinya di baptis.
Perlu diketahui Nadiem Anwar Makarim, lahir di Singapura, 4 Juli 1984. Putra dari pasangan Nono Anwar Makarim dan Atika Algadri. Ayahnya adalah seorang aktivis dan pengacara terkemuka yang memiliki darah Minang-Arab. Sedangkan ibunya merupakan penulis lepas, putri dari Hamid Algadri, salah seorang perintis kemerdekaan Republik Indonesia.
Saat upacara pernikahan di sebuah gereja (Poto dari internet)
Nadiem merupakan seorang pengusaha di Indonesia yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, di Kabinet Indonesia Maju Presiden Joko Widodo – KH. Ma’ruf Amin.
Dari catatan yang diterima majalahsora.com, ia merupakan Mendikbud ke-29 selama negara Republik Indonesia berdiri, dan dilantik, tanggal 23 Oktober 2019 lalu.
Khalayak sudah mengetahui dirinya merupakan pendiri Gojek, sebuah perusahaan transportasi dan penyedia jasa berbasis daring yang beroperasi di Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara, seperti Singapura, Vietnam dan Thailand.
Sebagai menteri pendidikan, Nadiem Makarim membuat gebrakan dengan mencanangkan kebijakan “Merdeka Belajar” yang salah satunya menghapus Ujian Nasional (UN).
Tetapi, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi X DPR-RI pada 12 Desember 2019, Ia mengklarifikasi istilah “menghapus” Ujian Nasional yang ramai di pemberitaan.
Dirinya mengatakan tidak menghapus UN, tetapi hanya menggantinya dengan sistem baru.
Saat menemani putrinya dibaptis oleh seorang Romo (Poto dari internet)
Berikut empat kebijakan “Merdeka Belajar” yang dicanangkan oleh Nadiem Makarim:
A. Mengganti Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) dengan ujian (asesmen) yang diselenggarakan hanya dari pihak sekolah. Kebijakan ini memberikan kepercayaan penuh pada pihak sekolah untuk membuat sendiri format ujian yang lebih komprehensif. Ujian tersebut tidak harus tertulis, namun bisa berupa penugasan kelompok, karya tulis dan sebagainya;
B. Menghapus format Ujian Nasional yang sebelumnya lalu menggantinya dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Berbeda dengan UN, asesmen ini dilakukan untuk siswa di tengah jenjang sekolah (kelas 4, 8, 11) sehingga tidak bisa digunakan sebagai basis seleksi ke jenjang selanjutnya. Kemendikbud berharap hasil asesmen digunakan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran;
C. Menyederhanakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang komponennya terlalu banyak dan kaku. Guru diberikan kebebasan untuk membuat dan mengembangkan RPP sendiri. Sementara komponen inti dalam RPP disederhanakan hanya menjadi satu halaman saja (sebelumnya hingga 20 halaman);
D. Memberikan fleksibilitas dalam sistem zonasi dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Kebijakan baru ini menambah kuota jalur prestasi yang sebelumnya hanya 15 persen menjadi 30 persen. [SR- dari berbagai sumber]***