Fikih membedakan kategori fakir dan miskin. Sulaiman Rasjid misalnya memberikan batasan bahwa fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau usaha yang kurang dari seperdua kecukupannya dan tidak ada orang yang berkewajiban memberikan kecukupannya. Sedangkan miskin, adalah orang yang mempunyai harta atau usaha sebanyak seperdua kecukupannya atau lebih tapi tidak sampai mencukupi.
Di situ jelas, yang menjadi patokannya adalah kemampuan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Bagaimana batasannya? Di Indonesia, kemampuan untuk mencukupi kebutuhan hidup tersebut diistilahkan dengan kebutuhan hidup layak. Yakni jumlah penerimaan, atau pendapatan pekerja dari hasil pekerjaan, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan, minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua.
Dari uraian di atas ternyata untuk memenuhi kebutuhan hidup layak tersebut tidak mudah dan tidak murah. Salah satu buktinya, kalangan pekerja tak henti-hentinya mempersoalkan patokan UMK dan UMR. Bahasa sederhananya, standar upah pekerja di negara kita ini rendah. Artinya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.
Yang menarik, standar UMK dan UMR hanya diributkan oleh kalangan pekerja atau buruh. Sementara, tidak pernah terdengar aparatur sipil negara (ASN) mempersoalkannya. Apakah penghasilan ASN sudah layak? Kalau standar gaji atau pendapatan ASN sudah cukup, mengapa tidak digunakan saja sebagai patokan dalam menetapkan UMK dan UMR?
Ternyata ada masalah lain lagi. Di negara kita ada pemahaman yang berbeda antara upah dengan gaji. Upah ditujukan kepada penerimaan kalangan pekerja atau buruh, sementara gaji lebih ditujukan kepada penghasilan ASN. Itulah sebabnya pihak pemerintah sering menawarkan bahwa upah di negeri ini rendah. Ini diakui sendiri olah pemerintah, khususnya bila berbicara tentang investasi. Upah buruh yang rendah dijadikan sebagai daya tarik agar pihak investor mau berinvestasi.
Bagi kalangan pekerja berlaku sebaliknya. Karena standar upah di negaranya sendiri terbilang rendah, mereka lebih tertarik bekerja di negara lain. Menjadi TKI atau TKW di Singapura, Hongkong atau Arab Saudi menjadi daya tariknya. Dan itu bukan omong kosong. Siapa pun yang bepergian ke pedesaan akan dapat menyaksikan rumah-rumah yang bagus, bertingkat pula. Kalau kita tanya siapa pemiliknya dan apa kerjanya, jawabannya hampir pasti yang bersangkutan bekerja sebagai TKI atau TKW.
Masalahnya, bukan hanya kalangan pekerja yang tergiur bekerja di negara lain, kalangan terpelajar pun tidak sedikit yang memilih bekerja di luar negeri. Motivasinya sama, pendapatan yang lebih besar. Bahkan tidak sedikit, mereka yang sudah pensiun pun memilih tetap tinggal di sana, tidak pulang ke negaranya sendiri. Alasannya pun sederhana pula, kesehatan yang terjamin.
Tapi ada cerita lain. Melihat kemajuan Tiongkok yang luar biasa, banyak yang bertanya apa yang menjadi pendorongnya. Salah satu jawabannya, negara tersebut mengirimkan generasi mudanya untuk belajar di negara-negara Amerika dan Eropa dalam jumlah banyak. Setelah selesai mereka pulang ke negaranya dan mempraktikkan ilmu yang telah dimilikinya. Bagi kita muncul pertanyaan, mengapa mereka mau pulang ke negaranya sementara di kita tidak seperti itu. Apakah karena negaranya memberikan jaminan terhadap kebutuhan hidupnya dengan standar yang setara dengan yang pernah mereka terima di negeri orang? Atau bahkan lebih besar?
Tentu kita ingat pada BJ Habibie. Di masa pemerintahan Presiden Soekarno dia kuliah di ITB. Karena kecerdasannya dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ka Jerman. Di sana ia belajar teknologi pesawat. Buat apa belajar teknologi pesawat sementara negara kita belum memiliki industri pesawat?
Di masa pemerintahan Presiden Suharto, Habibie dipanggil pulang. Dia diberi wewenang mengembangkan riset dan teknologi serta kemudian memimpin industri penerbangan. Habibie pun melakukan kebijakan yang berorientasi ke depan. Dengan wewenangnya dia menyediakan beasiswa, sehingga cukup banyak generasi muda kita yang belajar di negara-negara maju. Sepulang dari sana, mereka mengembangkan industri pesawat terbang. Hasilnya pun sudah nyata.
Indonesia kemudian mengalami krisis ekonomi, sama seperti banyak negara lainnya. Karena merasa tidak mampu mengatasi krisis tersebut, Presiden Suharto meminta bantuan IMF. Lembaga keuangan dunia itu bersedia dengan beberapa syarat. Salah satunya menghentikan industri pesawat karena dianggap pemborosan. Tragedi pun terjadi. Orang-orang pintar yang memiliki keahlian di bidang pesawat itu kehilangan pekerjaan. Tidak sedikit dari mereka yang harus menyambung hidup dengan berjualan, bahkan juga pengangguran.
Boleh kita renungkan sekarang. Negara kita memiliki banyak sumber daya manusia yang cerdas bahkan jenius, tapi negara menyia-nyiakannya. Cukup banyak yang menyimpulkan bahwa IMF memaksa Indonesia menghentikan industri pesawat tujuannya tidak lain. Jika Indonesia berhasil membangun industri pesawat, negara ini akan menjadi negara industri yang maju. Jika menjadi negara maju, bangsa Indonesia juga akan maju. Tidak lagi berstatus sebagai negara kelas menengah. Pendapatan rakyatnya akan meningkat jauh. Dan itu akan menakutkan negara lain.
Apakah itu sebabnya mengapa masih banyak warga miskin di negara ini? Ada yang bilang, rakyat kita dibiarkan miskin dan bodoh agar lebih gampang dipermainkan. Untuk kepentingan apa? Kepentingan politik, kepentingan ekonomi. Sementara kedua bidang tersebut memungkinkan terjadinya korupsi. Warga yang miskin dan bodoh tidak akan terlalu peduli pada korupsi. Terdengar sinis, tapi tidak mustahil ada benarnya.***