Ketika kita membicarakan atau berdiskusi tentang berbagai masalah, termasuk berkaitan dengan zaman purba, kita tidak sadar bahwa yang menjadi sumbernya adalah proses menulis dan membaca. Tentu dalam pengertian yang seluas-luasnya, karena yang kita maksudkan dengan menulis dan membaca tersebut bukan sebatas pada aksara melainkan juga pada gambar, rumus atau simbol.
Jika sedang membicarakan matematika dan fisika misalnya, kita selalu berurusan dengan simbol, lambang dan rumus.
Tradisi manusia menulis hampir mustahil dapat dilacak dengan pasti kapan mulai munculnya. Yang masih dapat dilacak sampai hari ini adalah macam ragam aksara, simbol atau gambar yang merupakan peninggalan manusia-manusia di masa yang sudah sangat lampau.
Pikiran-pikiran Plato yang masih terus menjadi pembicaraan sampai saat ini, semuanya bersumber dari aksara diikuti dengan kemampuan manusia untuk membacanya. Tidak semua aksara dapat dengan mudah dibaca oleh setiap orang. Salah satu kekecualiannya adalah aksara Latin yang menjadi alat komunikasi universal. Lain halnya jika harus membaca aksara Arab, Ibrani atau aksara Cina. Meskipun demikian, aksara-aksara yang spesifik tersebut masih terus dipergunakan oleh milyaran pemakainya.
Hal ini berkaitan dengan identitas.
Bahwa manusia memiliki hasrat untuk berkomunikasi dengan yang lainnya, hal itu merupakan kepastian, sunatullah. Bahkan dalam tradisi Islam, perintah yang pertama diberikan kepada Nabi Muhammad saw adalah perintah untuk membaca. Yang dimaksud dengan membaca mengandung pengertian yang sangat luas. Karena proses membaca bukan sebatas terhadap aksara, melainkan juga gambar dan simbol.
Mereka yang memiliki kepasihan bercerita tentang candi Borobudur misalnya, tak lain karena kemampuannya dalam membaca gambar-gambar yang merupakan relief di sekeliling candi tersebut.
Kita tidak menyadari bahwa kemampuan membaca mampu memberikan efek yang luar biasa. Kesadaran pentingnya membaca telah menjadi penunjang utama terbentuknya peradaban manusia. Kesadaran ke arah itu seringkali kita abaikan.
Datangnya kolonial Belanda ke Indonesia sering hanya dibaca sebagai upaya mereka memperoleh rempah-rempah yang sangat dibutuhkan oleh bangsa-bangsa di Eropa saat itu. Padahal jangkauannya jauh lebih luas lagi, karena yang dikirimkan pemerintah Belanda ke Hindia Belanda saat itu bukan sebatas tentara atau para pedagang melainkan juga para peneliti di berbagai bidang.
Salah satu bidang yang menjadi perhatian utama mereka adalah bidang bahasa dan budaya. Salah satu contohnya, perhatian mereka terhadap bahasa Sunda. Masyarakat Sunda sudah lama menggunakan bahasa ibunya tersebut dalam pergaulan sehari-hari. Tapi baru sebatas itu. Para peneliti Belanda kemudian mengembangkannya sehingga bahasa Sunda menjadi lebih sistematis. Cikal bakal tatabahasa Sunda merupakan salah satu upaya para peneliti tersebut, yang jejaknya masih dipakai sampai sekarang.
Penelitian yang mereka lakukan bisa dikatakan tidak kepalang tanggung. Snouck Hougronye mendapat perintah dari pemerintah kolonia untuk melakukan penelitian tentang agama Islam. Tugas ini dia lakukan dengan sepenuh hati. Dia melakukan ibadah haji, lebih dari itu dia juga menikah dengan putri seorang kiai di Ciamis. Yang layak kita renungkan, meskipun bangsa kita cukup lama dijajah oleh Belanda tapi tradisi mereka dalam melakukan penelitian bisa dikatakan sedikit sekali yang diadopsi oleh bangsa Indonesia, baik di masa kolonial maupun setelah bangsa ini merdeka.
Kita mengenal, doktor pertama orang pribumi di masa penjajahan itu adalah Husein Djajadiningrat. Seorang bangsawan dari Banten. Bahwa seorang pribumi dapat meraih tingkat keilmuan yang tinggi seperti itu, bukanlah pekerjaan mudah. Tapi patut kita sayangkan, karena namanya hampir terhapus dari sejarah. Mengapa bisa sampai seperti itu? Apakah bangsa kita tidak atau kurang menghargai prestasi keilmuan? Menurut kabar yang sayup-sayup, nama Husen Djajadiningrat bisa dikatakan hampir tidak tercatat dalam rekam sejarah bangsanya sendiri, karena dia termasuk salah seorang yang kurang setuju dengan proses kemerdekaan lewat proklamasi. Alasannya, karena sebagian besar bangsa Indonesia belum terdidik. Entah apakah benar seperti itu atau sebatas perkiraan, namun yang pasti nama Husen Djajadiningrat di negeri Belanda termasuk yang cukup dihormati.
Kita mungkin dapat berpikir lebih jauh, berkaitan dengan tradisi menulis dan membaca bagi bangsa kita. Kalau kita menelusuri peta kebudayaan bangsa Indonesia, ada satu hal yang sudah lama menjadi persoalan. Yakni kesadaran untuk memuliakan tradisi proses menulis dan membaca. Bukankah sudah sangat sering kita dengar betapa banyak artefak atau dokumen yang menjadi milik kita dapat dengan mudah berpindah tangan menjadi milik bangsa lain? Sangat aneh, sementara bangsa lain berani mengeluarkan uang untuk mendapatkannya sementara kita sendiri tidak memiliki kesadaran betapa pentingnya artefak atau dokumen yang kita miliki itu.
Sepantasnyalah kita bertanya, apa mungkin bangsa kita akan menjadi bangsa yang maju jika tetap tidak menghargai tradisi proses menulis dan membaca?***