majalahsora.com, Banda Aceh – Ridwan Kamil Gubernur Jawa Barat, tak kuasa menahan air matanya, saat berkunjung ke Museum Tsunami Aceh yang ia desain, di Jalan Sultan Iskandar Muda, Provinsi Aceh, Sabtu (25/12/2021) malam.
Ketika dirinya memasuki sebuah ruangan bernama Sumur Do’a, merasa ruangan tersebut paling memberikan kesan emosional di antara seluruh bagian museum.
Dengan pencahayaan temaram, siapapun yang masuk ruangan itu bisa merenungi sekaligus mendo’akan, ratusan ribu warga Aceh yang meninggal dunia akibat gempa dan tsunami yang mengguncang dunia pada 2004.
Diketahui Sumur Do’a sendiri merupakan bangunan menjulang tinggi berisi nama-nama korban tsunami Aceh yang di bagian atasnya terdapat lafadz Allah.
Menurut Emil, sapaan Gubernur Jabar, dari semua bagian museum, ruangan tersebut merupakan yang paling emosional bagi dirinya.
“Ini tempat kita berdoa untuk korban-korban tsunami dan di atas ada lafadz Allah, artinya apapun yang terjadi harus tawakal,” kata Emil, sambil meneteskan air mata.
Emil pun mengungkapkan saat masuk ke dalam museum, sarat dengan filosofi dan kesan emosional.
Sebagai seorang arsitek, Emil memenangkan sayembara tingkat internasional yang diselenggarakan pada tahun 2007, dalam rangka memperingati musibah tsunami Aceh.
Emil pun mengakui, dalam proses penciptaan rancang bangun Museum Tsunami Aceh, dia banyak meneteskan air mata, termasuk saat mempresentasikan hasil rancangannya saat sayembara.
“Saya banyak meneteskan air mata dalam proses sketsanya, termasuk dalam proses presentasinya pun saya terbata-bata karena ratusan ribu nyawa melayang akibat tsunami Aceh,” kata Emil.
Lanjut Emil, proses arsitektur Museum Tsunami Aceh merupakan akumulasi dari memori yang terekam dari peristiwa tsunami yang terjadi 26 Desember 2004.
“Prosesnya (rancang bangun) sekitar sebulan, tapi proses pencarian cukup intens, mencari cara sederhana agar masyarakat bisa merasakan langsung peristiwa itu, seperti ketakutan, basah, gelap, dan lainnya,” kata Emil.
Ia menjelaskan filosofi Museum Tsunami Aceh, merepresentasikan ketakutan, kesedihan, dan harapan.
“Jadi setelah rasa takut yang ditandai lorong gelap dan gemiricik air di bagian pintu masuk, lalu kesedihan dengan adanya sumur doa, dan terakhir harapan dengan hadirnya lorong menuju atap bangunan,” kata Emil.
Sedangkan atap bangunan museum berfungsi sebagai tempat evakuasi yang bisa menampung ribuan orang.
“Ini ibaratnya dataran tinggi untuk
evakuasi jika tsunami kembali terjadi,” pungkasnya.
Kedatangan Emil ke Museum Tsunami Aceh, merupakan bagian dari kunjungan kerjanya di Provinsi Aceh yang dijadwalkan berlangsung hingga Senin (27/12/2021) mendatang.
Emil didampingi Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh Jamaluddin dan rombongan.
Diketahui, selain sebagai tempat untuk mengenang bencana alam yang menggemparkan dunia, Museum Tsunami Aceh juga menjadi simbol kebangkitan warga Aceh. Dibangun pada tahun 2008 dan diresmikan tahun 2009 silam, museum ini mulai dibuka untuk umum pada tahun 2011.
Dari sisi rancang bangunnya, Emil sukses memadukan rumah tradisional Aceh yang dibentuk seperti gelombang besar, layaknya gelombang tsunami dalam tema besar bertajuk “Rumah Aceh as Escape Hill”.
Kini, Museum Tsunami Aceh menjadi destinasi wisata favorit wisatawan yang berkunjung ke Aceh, selain Masjid Baiturrahman yang jaraknya berdekatan dengan museum. [SR-Humas Jabar]***