Penelitian yang sudah berlangsung selama beberapa tahun di beberapa negara menemukan fakta yang cukup mengejutkan. Beberapa jenis makanan, termasuk sayuran dan daging hewan, sudah terpapar mikroplastik. Bahwa sampah plastik telah sejak lama menimbulkan pencemaran lingkungan yang makin parah sudah menjadi persoalan global. Berbagai upaya sudah ditempuh, termasuk membatasi penggunaan bahan yang terbuat dari plastik. Di masyarakat kita misalnya sudah berkali-kali dianjurkan agar masyarakat mengurangi pemakaian kresek. Bahkan harus diusahakan tidak digunakan lagi.
Tapi bahwa sampah plastik juga menimbulkan pencemaran terhadap bahan makanan merupakan penemuan baru. Mikroplastik dan nanoplastik, berdasarkan penelitian di atas, ternyata mencemari umbi-umbian, sayuran dan daging, termasuk ikan. Penelitian selama bertahun-tahun di beberapa negara menunjukkan bahwa kadar mikroplastik dan nanoplastik menimbulkan pencemaran yang berbeda derajatnya. Di beberapa negara kawasan Laut Tengah, misalnya di Portugal dan Spanyol, kadar pencemarannya terbilang kecil. Sementara di negara lain pencemarannya lebih besar.
Sampai sejauh ini para peneliti belum menemukan bagaimana efek pencemaran mikroplastik dan nanoplasik terhadap manusia. Namun mereka menganjurkan agar manusia sedapat mungkin tidak mengkonsumsi, atau mengurangi pemakaiannya, bahan makanan yang diduga tercemar mikroplastik dan nanoplastik. Menurut para peneliti, kadar pencemaran terhadap umbi-umbian lebih besar ketimbang sayuran.
Pencemaran, termasuk pemanasan global, sudah selama puluhan tahun menjadi kekhawatiran para ilmuwan yang peduli terhadap masalah global. Perkiraan seperti itu sudah terbukti. Dalam beberapa tahun terakhir banjir besar terjadi di berbagai belahan dunia. Bahkan sebagaimana yang terjadi di Brasil belakangan ini, banjir besar berlangsung selama beberapa bulan. Para ilmuwan sejak jauh-jauh hari sudah meramalkan ancaman akan terjadi karena salju di Kutub Utara mencair. Beberapa gunung es yang berada di sana sudah ambruk. Akibatnya air laut akan meninggi. Akibat selanjutnya sudah bisa diduga.
Penemuan baru tentang pencemaran akibat mikroplastik dan nanoplastik menambah kekhawatiran tentang masa depan planet Bumi yang kita diami ini. Alam sudah rusak. Hal itu bukan lagi perkiraan, tapi sudah menjadi kenyataan. Banjir lahar dingin yang terjadi di Padang beberapa waktu yang lalu, tidak pernah terjadi sebelumnya. Padahal Gunung Marapi sudah bukan pertama kali meletus.
Banyak para pecinta lingkungan yang pesimistis. Jika pencemaran lingkungan dibiarkan, apa pun alasannya, umur planet Bumi bisa dipastikan akan lebih pendek. Solusi untuk mencegahnya sebenarnya tidak terlalu sulit. Kembalilah ke alam. Manusia harus kembali bersahabat dengan alam. Hal itu sudah merupakan kearifan lokal yang dipatuhi oleh manusia-manusia generasi terdahulu. Di masyarakat kita misalnya dikenal istilah leuweung tutupan, artinya bagian hutan yang tidak boleh diganggu. Agar manusia mematuhinya, karuhun kita mengenal istilah pamali, yakni perbuatan yang sangat dilarang. Jika tidak dipatuhi akan terjadi kecelakaan, bencana atau kutukan.
Sayang, dengan alasan yang sangat pragmatis meski sebenarnya berpangkal pada keserakahan, kearifan lokal seperti itu ditabrak begitu saja. Hutan Amazon di Amerika Selatan misalnya, selama ribuan tahun dibiarkan utuh. Berbagai pantangan dipatuhi oleh penduduk asli di sana. Tapi, karena iming-iming bisnis yang menggiurkan, sebagian dari hutan Amazon tersebut ditebang. Sebagai gantinya, muncullah lahan tanaman kedelai yang luasnya puluhan ribu hektar. Keuntungan memang segera didapat setelah investasi ladang kedelai memberikan hasil. Tapi, sebagaimana yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, bencana banjir di Brasil yang berlangsung selama beberapa bulan itu menimbulkan kerugian yang jumlahnya sangat besar.
Di negara kita sendiri, sebagaimana kita alami, bencana terus terjadi dalam skala yang berbeda. Tidak perlu jauh-jauh, tengoklah pencemaran di sepanjang sungai Citarum. Kita terkejut waktu mendengar opini internasional yang menyebutkan Citarum sebagai sungai yang paling tercemar di seluruh dunia.
Pemerintah tidak tinggal diam. Diberlakukanlah program Citarum Harum. Pembiayaannya bukan semata dibebankan kepada APBN tapi juga berasal dari sumbangan internasional. Awalnya sempat menjadi perhatian luas. Tapi belakangan muncul opini, katanya program Citarum Harum gagal.
Memang, memelihara lingkungan bukan perkara mudah. Pangkal utamanya, bukan saja anggaran, melainkan disiplin warga di sekelilingnya, termasuk para pengusaha dan pejabat setempat. Perlu ditekankan, pilihannya tidak ada alternatif lain selain kembali ke alam. Manusia dan alam harus sama-sama saling memuliakan. Alam sudah memberikan segalanya untuk mencukupi kebutuhan manusia. Jangan dirusak. Alam yang dirusak sudah pasti akan menimbulkan bencana yang mengerikan.***