Kekosongan jabatan Kepala Sekolah di jenjang SMA, SMK, dan SLB Negeri di Jawa Barat yang tak kunjung terisi menjadi sorotan tajam berbagai kalangan, tidak terkecuali awak media. Hingga kini, sekitar 200-an sekolah di 27 kabupaten/kota masih dipimpin oleh pelaksana tugas (Plt), yang secara struktural memiliki keterbatasan kewenangan strategis. Kondisi ini jelas-jelas mengancam laju kemajuan pendidikan di provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia ini.
Menurut data terakhir Dinas Pendidikan Jawa Barat, dari total 867 SMA, SMK, dan SLB Negeri, sekitar 200 sekolah saat ini masih belum memiliki kepala sekolah definitif. Proses seleksi terbuka yang seharusnya rampung pada awal 2025 mengalami stagnasi, diduga akibat tarik menarik kepentingan birokrasi dan keterlambatan dalam pengambilan keputusan di tingkat provinsi.
Dampak Negatif yang Nyata
Kepala sekolah bukan sekadar administrator, tetapi pemimpin strategis yang menentukan arah kebijakan pendidikan di tingkat sekolah. Kekosongan ini berdampak langsung pada:
1. Terganggunya Pengambilan Keputusan Strategis. Plt. kepala sekolah memiliki ruang gerak terbatas, terutama dalam pengelolaan anggaran, pengembangan kurikulum, dan pengambilan keputusan jangka panjang. Banyak program pengembangan sekolah, termasuk peningkatan fasilitas dan inovasi pembelajaran, mandek karena ketidakberanian Plt. dalam mengambil keputusan besar.
2. Menurunnya Moril Guru dan Tenaga Kependidikan. Ketidakpastian kepemimpinan berimbas pada menurunnya semangat kerja guru dan staf. Tanpa figur kepala sekolah yang definitif, koordinasi internal melemah, target kinerja menjadi kabur, dan inisiatif pengembangan diri guru cenderung stagnan.
3. Terganggunya Hubungan dengan Dunia Industri (Khusus SMK). Bagi SMK, keberadaan kepala sekolah definitif sangat krusial dalam menjalin kerja sama dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Kekosongan ini membuat sejumlah mitra industri menahan diri untuk melanjutkan atau memulai kerja sama strategis yang sebenarnya sangat diperlukan untuk meningkatkan link and match lulusan SMK.
4. Lambatnya Implementasi Program Prioritas Pemerintah. Program-program prioritas seperti revitalisasi SMK, penguatan pendidikan inklusif di SLB, hingga pengembangan sekolah penggerak dan lainnya, terhambat. Tanpa kepemimpinan yang kuat di tingkat sekolah, program-program tersebut tidak berjalan optimal.
Jika dibiarkan, Jawa Barat bisa kehilangan momentum emas dalam mempercepat kemajuan pendidikan. Jangan sampai kita membayar mahal keterlambatan ini dengan kualitas lulusan yang tidak siap bersaing.
Pemprov Jabar Harus Bergerak Cepat
Dalam situasi saat ini, Pemprov Jawa Barat dituntut untuk bertindak cepat dan tegas. Gubernur Jawa Barat bersama Dinas Pendidikan harus memastikan seleksi kepala sekolah berjalan transparan, objektif, dan bebas dari kepentingan sesaat. Pendidikan adalah urusan strategis, bukan arena kompromi politik atau birokrasi yang berlarut-larut.
Jika kekosongan jabatan ini terus dibiarkan, maka Jawa Barat bukan hanya akan kehilangan peluang mempercepat kemajuan pendidikan, tetapi juga menghadapi risiko stagnasi kualitas generasi penerusnya.***