majalahsora.com, Kota Bandung – Banyak pihak memuji keberanian Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, merevitalisasi pertunjukan Wayang Wong Priangan ke dalam media sinematografi.
“Jabang Tutuka Birth of The Blezing Knight” yang menceritakan asal usul Gatotkaca, diangkat menjadi judul filmnya.
Pemerannya mahasiswa jurusan Seni Tari ISBI Bandung.
Mereka berhasil memerankan tokoh-tokoh yang ada, seperti Gatotkaca, Bima, Arimbi, Dewa Batara Narada dan lainnya. Dengan dialog berbahasa Sunda.
Pemutaran filmnya berlangsung di Gedung Kesenian Sunan Ambu, ISBI Bandung, pada Selasa (24/5/2022) malam.
FX Widaryanto, tokoh tari, memberikan apresiasi, terhadap cerita sinematografi Wayang Wong Priangan “Jabang Tutuka”
Benny Bachtiar, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwasata (Kadisbudpar) Provinsi Jawa Barat (Jabar), yang menonton langsung mengatakan, bahwa dirinya baru tahu asal usul Gatotkaca, dari film “Jabang Tutuka”.
“Ada sesuatu hal menarik, saya sendiri sebelumnya tidak tahu Jabang Tutuka merupakan cikal bakal Gatotkaca,” kata Benny, di Gedung Sunan Ambu, ISBI Bandung.
Film “Jabang Tutuka” juga kata Benny, perlu disosialisasikan atau disebarluaskan kepada anak-anak sekolah, supaya mereka mengetahui asal usul Gatotkaca.
“Bisa disosialisasikan lagi kepada anak-anak, akan jauh lebih baik lagi. Hari ini sebetulnya anak-anak kita paska ’98 sudah mulai kehilangan jati diri. Mudah-mudahan dengan sinematografi seperti ini membuka kembali wawasan budayanya,” ungkap Benny.
Lanjutnya, ketika generasi muda sudah mengenal budayanya sendiri, maka akan tumbuh kembali kecintaan terhadap budaya daerah (Sunda).
Salah satu adegan film Jabang Tutuka
Dari kacamata Benny film “Jabang Tutuka” merupakan sebuah kreativitas yang luar biasa, terlebih diproduksi hanya dalam waktu tiga bulan.
“Terlepas dari kekurangannya, tidak menjadi masalah. Pak Gubernur (Ridwan Kamil) selalu menyampaikan lebih baik memutuskan salah dan diperbaiki, daripada sama sekali tidak melakukan apa-apa,” kata Benny.
“Apa yang dilakukan oleh ISBI berkolaborasi dengan berbagai stakeholder yang ada, saya mengapresiasi, kasih jempol,” imbuhnya.
Benny berharap Wayang Wong Priangan di Jabar bisa hidup lagi, sebagai salah satu bentuk kearifan lokal yang diangkat kembali, karena seni budaya di Jabar tidak kalah dengan Bali. Bisa menjadi destinasi wisata, bagian dari promosi atau perputaran ekonomi, masuk ke dalam 17 industri kreatif yang digadang-gadang oleh pemerintah pusat.
Dalam kesempatan yang sama Bucky Wikagoe, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jabar, memaparkan, bahwa dirinya menangkap kata kunci revitalisasi produk warisan budaya Wayang Wong Priangan.
Prof. Dr. Endang Caturwati, S.ST., M.S., Guru Besar ISBI Bandung, sebagai tim riset (kedua dari kanan)
Alur cerita “Jabang Tutuka” saat masuk ke dalam kawah candradimuka yang bertransformasi menjadi Gatotkaca dengan segala kesaktiannya, kata Bucky diumpamakan seperti ISBI Bandung.
“Dan saya selalu berharap ISBI Bandung sesungguhnya merupakan kawah candradimuka yang menjadi penjaga gawang nilai-nilai tradisi yang adaptif terhadap perkembangan jaman,” kata Bucky.
Masih dalam kesempatan yang sama FX Widaryanto, penari, tokoh tari, pengamat tari, pengajar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung (kini ISBI Bandung), dan Dosen Luar Biasa di Lembaga Pengembangan Humaniora Universitas Katolik Parahyangan Bandung, mengatakan bahwa film “Jabang Tutuka” sangat menarik.
“Ini satu strategi, dari keberdayaan kearifan lokal, menjadi meng-Indonesia. Tapi juga memiliki kekuatan di dalam mewujudkan imajinasi yang tidak mungkin menjadi mungkin secara sinematografis,” kata Widaryanto.
“Ini sangat luar biasa terutama kaitannya dengan nalar seorang jabang bayi melawan raksasa, seseorang yang tubuhnya lebih besar, sesuatu yang tidak mungkin. Ini perwujudan imajinasi yang nampak sangat kuat,” imbuhya.
Muhammad Mughni Munggaran, produser film Jabang Tutuka
Masih kata Widaryanto dunia imajinasi yang tidak mungkin, dalam film “Jabang Tutuka” menjadi mungkin dan sudah menyatu.
“Yang penting sudah ada kolaborasi, tidak ada ego mainstream seni tari, seni teater. Ada keluluhan dari kolaborasi sehingga itu menjadi ciri yang harus dimunculkan dalam dunia digital,” kata Widaryanto.
“Kalau penari hanya membuat koreografi kemudian dibuat film, itu menjadi dokumentasi saja. Tapi ini merupakan ekspresi dari seniman, merupakan bagian dari pengecilan ego dari seniman yang ada. Dulu sering kali tidak mungkin ini menjadi mungkin,” imbuhnya.
Hal tersebut kata Widaryanto merupakan sebuah perwujudan baru dari esensi tradisi yang sudah ada.
“Yang menarik lagi potensi Wayang Wong di Sunda ada di Garut, Sumedang, Bandung, bisa menjadi bagian yang digarap keberdayaan masing-masing, banyak alumni STSI atau ISBI untuk menggerakkan masyarakat untuk berkreasi,” ungkap Widaryanto.
Masyarakat berbondong bondong menyaksikan film Jabang Tutuka
Karena menurutnya masyarakat merasakan konteks wayang yang sudah mulai hilang, apalagi selama pandemi. Oleh sebab itu Wayang Wong Priangan yang dibuat diharapkan bisa menjadi bagian kebanggaan, karena digerakkan dan peran mereka menjadi penting.
Sedangkan Prof Een Herdiani, Rektor ISBI Bandung, menjelaskan bahwa latar belakang diproduksinya film “Jabang Tutuka” untuk menghidupkan kembali Wayang Wong Priangan.
“Ketika membuat karya yang terpikir adalah bagaimana Wayang Wong di Priangan yang sudah tidak hidup di masyarakat luas bisa hidup lagi. Selama ini paling (pertunjukannya) di kampus ISBI atau di perguruan tinggi, itu juga tidak rutin hanya sekali-kali,” kata Prof Een.
“Sekarang kami ingin memperkenalkan kembali kepada kaum milenial dalam bentuk seperti ini (sinematografi). Harapan ke depan kita ingin, Wayang Wong menjadi pertunjukan rutin di ISBI bandung supaya hidup lagi. Tadi harapan Pak Kadis, bahwa kita perlu sosialisasi. Insya Allah kita bisa sampaikan ke sekolah atau kita undang murid untuk menonton pertunjukan ini,” tandasnya. [SR]***