Keadaban merupakan puncak dari perilaku manusia yang menghargai dan berpihak pada nilai-nilai kebenaran, kebaikan, kepatuhan hingga keutamaan.
Kalimat tersebut disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr KH Haedar Nashir ketika meresmikan gedung Ir H Djuanda di Kampus 2 Universitas Muhammadiyah Cirebon.
Penekanan ungkapan seperti itu terasa relevan dengan kondisi kita sekarang ini. Kita merasakan, keadaban bukan lagi menjadi sesuatu yang dimuliakan.
Keadaban memang tidak ada hubungannya dengan materi atau kedudukan. Yang menjadi targetnya adalah nilai-nilai, martabat serta moralitas.
Lalu, di mana hal itu dapat kita peroleh? Salah satu yang mampu memupuk serta mengembangkannya adalah lembaga pendidikan. Dalam hal ini lembaga pendidikan Islam memegang peran yang sangat penting. Mestinya demikian. Karena lembaga pendidikan Islam tentu mengajarkan keadaban seperti dikemukakan Haedar Nashir di atas.
Apakah memang seperti itu?
Dalam pengantarnya untuk buku Muhammad Sang Guru, penerbit Turos memberi catatan berikut.
Ironisnya saat ini, banyak sekali lembaga hanya menjadikan label “pendidikan Islam” sebagai strategi marketing belaka. Ada yang mengklaim keislamannya dengan mengadopsi nama-nama para ulama sebagai merek lembaganya. Padahal jika ditilik metode pengajaran yang diterapkan sangat “tidak islami”, bahkan jauh dari nilai-nilai pendidikan Islam itu sendiri. Di sisi lain, lembaga seperti ini kerap menerapkan biaya pendidikan yang tidak murah, tidak mudah dijangkau oleh umat sama sekali. Hal ini mulai lumrah terjadi dan dengan mudah ditemui.
Kita kutip agak panjang karena pada dasarnya kita sepakat dengan pernyataan di atas. Memang tidak bisa dipungkiri proses pendidikan membutuhkan anggaran tidak sedikit. Sederhananya, untuk menutupi anggaran besar tersebut, pihak orangtua siswa harus menanggung bebannya. Komersialisasi pendidikan tidak bisa dihindari.
Kalau kita melihat kembali lintasan sejarah, khususnya yang berhubungan dengan label Islam, para kiai, ajengan dan ustad terdahulu melakukan berbagai terobosan untuk mengatasi hambatan seperti itu. Tujuan utamanya agar pewarisan ilmu, khususnya ilmu agama, dapat berlangsung dengan lancar tanpa beban yang memberatkan.
Sekolah-sekolah yang didirikan pemerintahan kolonial Hindia Belanda ketika itu memilah ragam sekolah berdasarkan kedudukan atau kepangkatan seseorang. Tidak setiap orang dapat mengikuti pendidikan untuk semua tingkatan. Sebutan sekolah rakyat misalnya menunjukkan bahwa itulah lembaga pendidikan untuk kaum pribumi biasa.
Sementara bagi mereka yang memiliki kedudukan serta gelar kebangsawanan tersedia lembaga pendidikan tersendiri yang secara populer disebut sekolah menak.
Setelah kita merdeka, sistem pendidikan mengalami perombakan total. Sekolah rakyat berubah menjadi sekolah dasar. Setiap warga negara boleh memasuki jenjang pendidikan sesuai kemampuannya. Masalahnya, yang dikategorikan sebagai kemampuan tersebut bukan sebatas kecerdasan melainkan juga kemampuan finansial.
Pada dasawarsa 1950-an misalnya aparat desa harus berkeliling ke kampung-kampung menganjurkan agar anak-anak yang sudah cukup umur mau bersekolah. Standarnya cuma sebatas itu. Anak-anak cukup melingkarkan lengannya ke atas kepala. Jika ujung jarinya dapat menyentuh ujung telinga, dinyatakan sudah cukup umur.
Sekolah menyediakan segala kebutuhan. Buku, kapur dan tinta disediakan oleh sekolah. Siswa tidak dibebankan membeli buku. Iuran sekolah pun semampunya, boleh dibayar dengan hasil pertanian.
Perkembangan pendidikan terbilang luar biasa. Siswa pada zaman sekarang harus menanggung beban yang tidak ringan. Iuran sekolah ditentukan dengan deretan angka nol rupiah. Buku ajar yang harus dimiliki juga tidak gratisan. Tapi, semua itu dipandang belum cukup. Di samping mengikuti pelajaran di sekolah, siswa juga harus mengikuti bimbingan belajar. Tentu tidak gratis, dan ditawarkan langsung ke sekolah-sekolah. Iming-imingnya supaya diterima di sekolah yang lebih tinggi.
Ironisnya, guru yang memberi pelajaran di bimbel tersebut adalah guru-guru di sekolah. Mengapa pelajarannya tidak langsung saja diberikan pada jam pelajaran formal di sekolah?
Ada benarnya apa yang disampaikan sebagai pengantar buku di atas. Buku tersebut menekankan pada semangat serta pola pendidikan yang dicontohkan oleh Nabi sendiri. Tentu bukan perkara gampang untuk mengikutinya sedemikian rupa meskipun semangat kehendak mengikuti jejak Nabi sering diwacanakan.
Meskipun demikian, komersialisasi pendidikan dengan label Islam harus menjadi pemikiran serius. Bagaimana agar proses pendidikan yang unggul tidak harus membutuhkan pembayaran yang tinggi. Tujuan utamanya agar umat dapat meraihnya secara utuh. Apakah lembaga zakat dapat lebih dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan?***