majalahsora.com, Kota Bandung – Perpolitikan di Republik Indonesia akhir akhir ini sesudah era reformasi, bisa dikatakan sedang tidak baik-baik saja.
Pasalnya tidak sedikit partai yang ada, sudah dikendalikan oleh para pemodal besar, cukong atau oligarki. Hal ini tidak lain untuk mengamankan kepentingan mereka semata. Bukan demi kepentingan masyarakat umum.
Ini bisa dilihat dari pelaksanaan pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislatif yang berlangsung.
Undang Undang yang ada pun kadang dirubah untuk memuluskan hasrat segelintir kelompok. Apalagi politik uang yang sudah dianggap lumrah.
Apabila didiamkan secara terus menerus, dan masyarakat tidak diedukasi, bisa jadi demokrasi di Indonesia lambat laun akan menghadapi kematian.
Yang ada hanya kepentingan dan adu kekuatan semata. Bukan adu gagasan dan solusi untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Berkenaan dengan itu Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung, Prof. Dr. H. Obsatar Sinaga, M.Si., menjelaskan bahwa terjadinya hal tersebut karena sudah adanya kartel politik.
Hal ini pun disarikan dari Prof Obi, akrab disapa, saat menjadi salah satu narasumber dalam acara diskusi mingguan Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita, yang diselenggarakan oleh KAHMI, pada hari Sabtu malam, tanggal 31 Agustus 2024. Mengusung tema “Pilkada 2024, Kartel Politik dan Masa Depan Politik Indonesia”.
“Kita sepakat saat ini di Indonesia telah terjadi kartel politik, prakteknya sudah lama berlangsung, yakni setiap pemilu lima tahunan. Makanya kekuatan yang menang dan yang kalah memberi makna masing-masing,” kata Prof Obi, dalam diskusi yang dihadiri 362 peserta secara online.
Lanjutnya merujuk kepada dua pemikir Barat, yakni Ricard Cart dan Peter Mair, memberikan kesimpulan bahwa kartel politik, biasanya menggunakan sumberdaya negara. Kemudian adanya Partai-partai yang bersatu sehingga tidak bersaing satu sama lain. Lalu berkolusi untuk melindungi kepentingan mereka.
Ia menambahkan, mengacu kepada pemikiran Sigmun Freud, mengenai hasil pemilu, kemenangan seorang pemimpin di arena pemilihan merupakan sebuah gambaran dari rakyat pemilihnya.
“Jika yang terpilih sekelas raja maka pemilihnya adalah rakyat kerajaan. Tetapi apabila yang terpilih sekelas tukang bakso, maka rakyat pemilihnya tukang bakso. Meskipun begitu pemikiran Freud ini bisa dibantah dengan praktek kartel politik,” kata Prof Obi.
Kondisi negara yang tidak sedang baik-baik saja juga disebabkan oleh salah urus, hal tersebut merujuk kepada utang luar negeri (ULN) Indonesia yang semakin membengkak.
“ULN kita pada triwulan II tahun 2024, mencapai 408,8 miliar USD. ULN itu tumbuh 2,7 %. Sedangkan LPE di triwulan I hanya 0,2 %. Ini menjadi indikator negara bangkrut (alias salah urus),” kata Prof Obi.
Masih berkaitan dengan kartel politik, kata Prof Obi yang terjadi sebenarnya ulah dari partai politik.
“Kemarin kita lihat, PDIP yang awalnya bersuara untuk menentang kekuatan kartel ‘dicurigai’, masih dalam kartel politik untuk menyingkirkan Anies Baswedan dalam panggung kekuasaan,” kata Prof Obi.
“PDIP bagus kalau jadi oposisi tapi buruk kalau jadi penguasa,” imbuhnya.
Masih dikatakan Prof Obi, habis ini semua (pelantikan presiden, pelantikan legislatif, dan pemilihan daerah), kita akan menyaksikan kartel baru dengan penguasa baru.
Dengan begitu kata Prof Obi, di era sekarang orang waras yang berada di tengah-tengah orang gila, maka akan dikatakan gila.
Sambungnya dunia demokrasi yang kita pelajari pun memberikan pilihan kemenangan kepada yang terbanyak, bukan yang terbaik.
Ia pun mengumpamakan bahwa orang jujur tidak akan mendapatkan respon penghormatan ketimbang seorang pembohong. [SR]***