majalahsora.com, Kota Bandung – Mediasi terkait penutupan akses jalan atau gang warga di Desa Kertamulya, Kabupaten Bandung Barat, yang berlangsung Rabu (6/11/2024) belum menghasilkan solusi.
Jalan umum yang ditutup dengan tembok ini telah puluhan tahun menjadi akses utama masyarakat untuk beraktivitas sehari-hari, termasuk menuju pasar, masjid, serta tempat berdagang.
Penutupan ini berdampak signifikan bagi warga dari empat rukun warga (RW) yang selama ini mengandalkan akses tersebut.
Penutupan jalan ini awalnya memicu pengaduan dari warga kepada Tim Pelayanan Komunikasi Hak Asasi Manusia (YankoHAM) di Kanwil Kemenkumham Jawa Barat.
Kepala Bidang HAM Kanwil Kemenkumham Jawa Barat, Hasbullah Fudail, menindaklanjuti aduan ini dengan memfasilitasi mediasi bersama sejumlah pihak, termasuk perwakilan warga, pejabat pemerintah setempat, dan kuasa hukum pemilik lahan.
Dalam pertemuan tersebut, Hasbullah Fudail menjelaskan bahwa penanganan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terkait penutupan jalan ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 23 Tahun 2022.
Berdasarkan investigasi di lapangan, langkah penutupan jalan dianggap berdampak serius terhadap kehidupan warga, baik secara ekonomi maupun sosial budaya.
Kombes Pol Rinto Prastowo, Irwasda Polda Jawa Barat, turut hadir dan menyampaikan bahwa sengketa kepemilikan lahan ini sudah dalam proses hukum. Ia mengingatkan agar pihak-pihak yang terlibat menahan diri sampai keputusan pengadilan keluar.
“Penutupan akses ini merupakan tindakan terburu-buru dan telah mengganggu aktivitas warga yang memanfaatkan jalan ini sejak 1957. Seyogyanya semua pihak menghormati proses hukum dan menjaga kondusivitas,” ungkapnya.
Namun, kuasa hukum Maritje pemilik lahan, bersikeras bahwa lahan yang ditembok adalah milik kliennya secara sah.
Mereka berpendapat bahwa jalan tersebut bukan jalan umum, melainkan lahan pribadi yang telah diserobot. Pihak Maritje mengklaim bahwa tidak ada dokumen kepemilikan lain yang sah dari pihak lain.
Di sisi lain, Kepala Desa Kertamulya, Farhan, menegaskan bahwa gang tersebut sudah dianggap sebagai jalan umum karena ada anggaran negara untuk pemeliharaannya.
Masyarakat yang hadir dalam pertemuan pun menyampaikan keluhan mereka, berharap agar jalan tersebut kembali dibuka.
Sedangkan Budi Santoso, Penyuluh Hukum Kanwil Kemenkumham Jawa Barat, menekankan bahwa isu utama di sini adalah dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang mengganggu akses publik.
“Pembuktian soal kepemilikan biarlah diputuskan pengadilan. Namun, fungsi sosial jalan ini harus dipertimbangkan,” ujarnya.
Hasbullah Mencoba Menyentuh Sisi Kemanusiaan Maritje
Dalam sesi akhir, Hasbullah mencoba menyentuh sisi kemanusiaan Ibu Maritje dengan bertanya langsung, “Apakah dengan hati nurani Ibu bersedia membuka akses jalan untuk mengurangi permasalahan warga?” Namun, Maritje tetap pada pendiriannya untuk tidak membuka akses jalan tersebut, bahkan menyatakan kepuasannya telah menunjukkan kepemilikan atas lahan tersebut.
Hingga akhir pertemuan, belum tercapai kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa.
Kanwil Kemenkumham Jabar merekomendasikan agar warga yang merasa dirugikan mempertimbangkan jalur hukum lain untuk memperjuangkan hak mereka. Laporan hasil penanganan dugaan pelanggaran HAM ini akan disampaikan kepada Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia untuk langkah tindak lanjut. [SR]***