Film Jawan mendadak menjadi pembicaraan ramai. Daya tarik film India tersebut tentu Shah Rukh Khan yang menjadi pendukung utamanya. Namun ada faktor lain yang justru lebih menarik, terutama bagi kita di Indonesia yang sebentar lagi akan memilih presiden. Apa hubungannya?
Meski tetap dibumbui dengan tari dan nyanyi khas film India, film ini muatan pesannya erat dengan kekuasaan. Adegan awalnya sudah menimbulkan pertanyaan. Berlanjut pada aksi pembajakan kereta api, rasa penasaran makin terpacu. Meski berdurasi cukup panjang, hal ini juga khas film-film Bollywood, benang merah ceritanya berputar pada korelasi antara pemegang kekuasaan dengan rakyat yang berada di bawah kekuasaannya. Tema inilah yang menimbulkan kesan pada penonton, karena saat ini kita sedang menghadapi pemilihan presiden.
Apakah kamu banyak bertanya tentang pemimpin yang akan kamu pilih? Itulah salah satu bagian dari monolog panjang yang diucapkan sang mega bintang. Tentu kita merasa langsung tersindir. Sang tokoh, yang diperankan multi faset oleh Shah Rukh Khan, mengingatkan dan wanti-wanti. Jangan sembarangan memilih pemimpin. Ketika kamu berbelanja kebutuhan sehari-hari kamu sering banyak bertanya. Apakah obat nyamuk ini asapnya tidak bikin sesak napas? Apakah beras ini tidak bercampur gabah atau kerikil? Apakah sabun ini busanya banyak? Coba sekarang kamu tanya pada diri sendiri, apakah kamu bertanya sebanyak itu ketika akan memilih pemimpin?
Setelah menonton adegan tersebut mungkin banyak di antara kita yang tersipu. Kamu nyindir yah? Apakah di negerimu kebiasaan pemilihnya memang seperti itu juga?
Dalam banyak kasus, kesenian tidak lain merupakan ekspresi kegelisahan dari sang kreator, tapi dampaknya bisa mewakili kegelisahan di sekelilingnya. Itulah sebabnya mengapa film Jawan mampu menimbulkan dampak atau gelombang yang seirama dengan pesan yang ingin disampaikannya. Padahal film tersebut tentu tidak khusus ditujukan kepada kondisi penonton di Indonesia saat ini.
Ekspresi seni dampaknya bisa mendunia. Ibarat kita mendengar lagu Heal the World yang dilantunkan Michael Jackson, secara spontan kita akan terbawa irama meski liriknya belum tentu kita pahami seluruhnya. Itulah pula yang menjadi pendorong mengapa masyarakat kita belakangan ini sangat gandrung pada drama Korea.
Mungkin kita boleh bertanya. Apakah ada kreasi seniman Indonesia yang sudah mendunia? Tentu ada beberapa yang bisa disebut, semisal karya lukis dan patung yang mendapat apresiasi positif. Juga tembang Sunda yang ketika dipintonkan di negara lain, penontonnya sangat apresiatif. Gendang serta suling Sunda juga sudah mendapat penghargaan internasional.
Globalisasi terbukti menimbulkan efek balik. Awalnya diperkirakan hal itu akan menimbulkan dominasi pengaruh yang tidak seimbang. Arus yang datang sangat kuat sementara arus baliknya lebih lemah. Yang terjadi tidak seperti itu. Masyarakat Barat serta negara-negara maju lainnya, terbukti sangat antusias memberikan apresiasi terhadap hampir segala sesuatu yang sangat berbeda dengan kulturnya sendiri.
Pertanyaannya kemudian, apakah keadaan seperti itu dapat dimanfaatkan sebagai peluang? Tentu, peluang bagi kita bukan bagi mereka. Masalahnya berpulang pada kadar kreatifitas itu sendiri, yang ternyata tidak segampang yang kita duga.
Ketika film Korea Parasite terpilih meraih Oscar sebagai film terbaik, kita agak ternganga. Kok bisa ya? Selama ini apresiasi kita sudah terlanjur seolah mematok harga bahwa film terbaik di ajang Oscar harus produksi Hollywood atau negara Eropa lainnya. Yang berasal dari benua lain paling diaspresiasi sebagai film bahasa asing terbaik. Ternyata Parasite mampu merobohkan pandangan seperti itu. Apa yang menjadi kuncinya?
Kembali pada makna kreatifitas itu sendiri. Faktor ini tidak mungkin terjadi secara ujug-ujug. Sebaliknya, malah memerlukan proses panjang. Kalau begitu, bagaimana dengan kreatifitas orang Indonesia seperti kita-kita ini? Tidak perlu berpikir terlalu lama untuk mengakui bahwa kita memang masih tertinggal jauh. Talenta seni di negara kita sebenarnya sangat kaya dan bervariasi. Dalam seni patung misalnya tengoklah patung Bali, patung Asmat dan patung Nias. Dalam seni karawitan dengarkanlah musik Jawa, musik Sunda, musik Batak atau musik Bali. Busana juga banyak sekali ragamnya.
Yang menjadi persoalan, kita sebatas hanya berhenti di sana. Belum ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mengangkatnya sehingga mampu merambah dunia. Sederhananya, apakah sudah ada film Indonesia yang mengeksplorasi potensi kekayaan budaya tersebut secara optimal? Mengapa film-film Bollywood mampu menawarkan tari dan nyanyi sehingga menjadi identitasnya sementara kita hanya puas sebatas menjadi penontonnya?***