Dalam kajiannya yang argumentatif, Bassam Tibi membedakan antara Islam dengan Islamisme. Menurut dia Islamisme itu terkait tatanan politik bukan iman. Meski demikian, Islamisme bukanlah semata politik, tetapi politik yang diagamasisasikan. Terdapat perbedaan antara Islam sebagai keyakinan dan Islamisme sebagai politik keagamaan, yang menggunakan simbol agama untuk tujuan politik.
Membaca pendapat tersebut wajar kalau kita langsung bertanya, bagaimana dengan peran partai politik Islam? Ini erat kaitannya dengan kondisi kekinian di masyarakat kita. Frasa parpol Islam sudah sangat populer di masyarakat kita.
Bassam Tibi seorang akademisi kelahiran Suriah yang kemudian beremigrasi ke Jerman dan menjadi warga negara di sana. Kajiannya memang lebih fokus pada masalah-masalah keislaman dan kemasyarakatan. Kajian politik tentu menjadi bagian penting di dalam pemikirannya.
Mesti kita akui, retorika tentang Islamisme sempat menjadi bahan kajian yang sangat populer pada pertengahan abad lalu. Bisa dikatakan merupakan imajinasi dari sebuah impian tentang sebuah tatanan kemaysrakatan di mana nilai-nilai keislaman menjadi penyangga utamanya. Namun seiring waktu, Pan Islamisme berangsur-angsur meredup. Bahkan saat ini hampir sudah tidak ada lagi yang tertarik untuk membicarakannya.
Bahwa selalu ada gesekan antara Islam dan politik, masih kita rasakan sampai sekarang. Ketika Joko Widodo memilih Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden dalam pemilihan presiden 2019, salah satu alasannya adalah mengakomodasikan aspirasi keislaman ke dalam pemerintahannya, meskipun dalam praktik selanjutnya tidak begitu terasa.
Bahwa politik Islam sering tidak sejalan dengan harapan, tampaknya sudah menjadi bagian dari wacana politik di negeri ini. Hampir dalam setiap menjelang pemilihan presiden, wacana tentang nasionalis dan islamis selalu menjadi pembicaraan yang laris.
Tapi sekali lagi mesti dikatakan, pembicaraan seperti itu hanya sebatas wacana.
Siapa pun yang menaruh perhatian terhadap perkembangan politik dan keislaman di Indonesia tentu belum lupa berkaitan dengan jargon yang pernah ditawarkan Nurcholish Madjid. Dia dengan tandas menyatakan, Islam Yes, Partai Islam No. Bukan hanya kritik, juga caci maki diarahkan kepadanya. Dan pembicaraan berkaitan dengan persoalan ini terus berlangsung selama puluhan tahun.
Di samping itu, kita juga mesti ingat tentang tesis yang dikemukakan Huntington. Setelah runtuhnya Uni Soviet, dia mengemukakan tesisnya yang kemudian sangat terkenal. Dia meramalkan, setelah komunisme hancur maka kapitalisme akan berhadapan dengan Islam. Apa urusannya? Itulah pertanyaan yang spontan muncul dalam pikiran kita.
Jika kapitalisme berlawanan dengan komunisme, semua orang paham karena antara keduanya terdapat bermacam perbedaan yang saling berlawanan.
Tapi, mengapa dengan Islam?
Tesis Huntington memang menarik, dan layak menjadi bahan pemikiran siapa pun yang menaruh minat pada persoalan politik dan Islam. Mungkin, beberapa peristiwa yang terjadi kemudian boleh juga menjadi catatan. Bagaimana Barat (sebagai penganut kapitalisme yang paling fanatik) menghantam dan menghancurkan politik keislaman (meskipun belum tentu benar seperti itu) di berbagai wilayah. Irak, Suriah, Libya, Tunisia, untuk menyebut beberapa contoh.
Frasa Musim Semi Arab pernah sangat populer sebagai penanda bangkitnya demokratisasi di berbagai negara Arab yang sebelumnya dikendalikan oleh pemerintahan yang sekuler dan otoriter. Sementara, pada bagian lain, kita juga tidak ada salahnya jika mencoba mengaitkan tesis Huntington dengan perkembangan yang terjadi di Cina.
Pada masa-masa awal terbangunnya kekuasaan komunis di Beijing, Washingtong sempat beberapa tahun lamanya menapikannya. Tidak ada hubungan diplomatik antara Washington dan Beijing. Sampai kemudian dirakayasa diplomasi pingpong, di mana pemain pingpon dari AS mengadakan pertandingan persahabatan di Beijing.
Tak lama kemudian Teng Hsiao Ping, yang kala itu merupakan tokoh nomor dua setelah Mao Zedong dalam hierarki kekuasaan di Cina mengadakan kunjungan ke AS. Di negara kapitalis yang merupakan lawan bebuyutannya itu Teng pernah melontarkan jargon yang kemudian menjadi terkenal. Tidak peduli kucing itu warnanya putih atau merah, yang penting dia dapat menangkap tikus.
Apakah fatwa Teng tersebut yang kemudian menjadi garis kebijaksanaan pemerintahan Cina sehingga tumbuh menjadi kekuatan super seperti sekarang? Tidak sedikit yang menyetujui pendapat tersebut, meskipun apa yang sebenarnya terjadi di sana hanya mereka sendiri yang tahu persis.
Apakah fenomena Cina akhir-akhir ini merupakan bukti bahwa tesis Huntington tidak benar atau meleset? Lalu, bagaimana pula dengan Islamisme itu sendiri? Apakah dibiarkan mengabur dengan sendirinya?
Bagi Indonesia, di mana bagian terbesar dari warga negaranya merupakan muslim, apakah itu tesis Huntington maupun jargon Teng Hsiao Ping, tidak ada salahnya jika terus dijadikan bahan kajian.
Bukankah bangsa ini memiliki ambisi ingin menjadi negara maju? Tidak ada bangsa yang mampu menjadi maju dan kuat jika tanpa disertai kajian yang serius dan mendalam. Kajian politik dan agama tampaknya masih relevan untuk dikaji ulang dan dipertanyakan.***