UNESCO menetapkan tanggal 5 Oktober sebagai Hari Guru Internasional. Tema peringatan tahun ini adalah Guru Memimpin dalam Krisis, Menata Kembali Masa Depan. Peringatan akan berlangsung selama satu pekan, puncaknya tanggal 12 Oktober nanti.
Peringatan tahun ini menjadi istimewa disertai keprihatinan yang mendalam, karena akibat pandemi COVID-19 di seluruh dunia di mana dunia pendidikan ikut terpukul. Proses pembelajaran berlangsung secara daring, baik siswa maupun guru saling berhubungan dari rumah masing-masing.
Apakah proses belajar di rumah seperti itu akan ada dampaknya? Tentu saja. Yang jelas, baik guru maupun siswa, demikian pula orangtua, merasa cemas. Akan seperti apa hasilnya nanti? Pada tahun depan, setelah tahun pelajaran memasuki tahun ajaran baru, dampak tersebut akan terasa. Meskipun demikian, sampai saat ini belum ada ancang-ancang yang disepakati semua pihak, akan seperti apa keputusannya.
Awalnya ada harapan, proses belajar yang normal diperkirakan akan dapat diselenggarakan mulai bulan Desember tahun ini. Tapi melihat kenyataan yang terpapar virus COVID-19 terus meningkat, dengan berbagai variasi, tampaknya harus lebih bersabar lagi.
Di negara-negara yang sistem pendidikannya sudah mapan dan maju, mungkin dampak proses belajar di rumah masih bisa disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Mereka telah memiliki jaringan telekomunikasi yang terintegrasi dengan baik. Di samping kecepatan internetnya sudah tinggi, jaringannya pun stabil.
Lain cerita dengan di negara kita. Guru dan siswa sama-sama berkeluh kesah. Jaringan internet lelet, kuota terbatas, anggarannya pun menjadi persoalan. Dengan kondisi seperti itu masyarakat tidak mungkin mengharap hasil pendidikan yang tinggi kualitasnya.
Untuk membandingkan dengan negara-negara lain, sebenarnya ada yang perlu kita simak dengan hati dingin. Jika berbicara tentang kualitas pendidikan, selama ini Finlandia menjadi negara yang konsisten mempertahankan rengkingnya yang tinggi. Prestasi seperti itu perlu dikaji lebih jauh lagi. Negara di Semenanjung Skandinavia tersebut, sepanjang yang kita ketahui, tidak memiliki universitas ternama. Misalnya bila dibandingkan dengan Inggris (di mana terdapat Universitas Oxford dan Cambridge yang prestisius) atau Amerika Serikat yang memiliki beberapa universitas terkenal sekelas Universitas Harvard dan Yale.
Finlandia juga bukan negara kapitalis di mana faktor modal menjadi penentu segala kebijakan. Kebijakan ekonominya lebih terkesan pada sistem sosialis, pemerataan. Penduduknya tidak ada (atau tidak dibolehkan undang-undang) yang terlalu kaya, demikian juga tidak ada yang terlalu miskin. Pemerataan kesejahteraaan lebih menonjol. Belum pernah disebut nama salah satu orang paling kaya di dunia yang berasal dari Finlandia.
Mengapa negara yang seperti itu secara konsisten dan berkelanjutan sanggup menyelenggarakan sistem pendidikan yang maju dan berkualitas?
Bagi kita di Indonesia, pertanyaan seperti itu tidak boleh dilewatkan begitu saja. Siapa tahu, kalau para ahli memikirkannya secara serius berdasarkan data yang komprehensif pula, sistem pendidikan di negara kita akan lebih baik lagi.
Sejak masa Aristoteles (mungkin lebih lama dari itu) posisi guru menempati tempat yang sangat penting. Prof. Dr Mikihiro Moriyama misalnya pernah mengatakan bahwa guru di Jepang itu tidak bisa kaya, tapi posisinya sangat dihormati. Siapa pun yang memilih profesi sebagai guru menempati kedudukan terhormat di mata masyarakat, termasuk perhatian dari pemerintah pula.
Apakah perhatian tersebut berkaitan dengan kesejahteraan? Yang pasti, bukan di sana penekanannya. Guru adalah posisi kunci dalam proses estafet ilmu dan kecerdasan. Hampir tidak mungkin seseorang akan menjadi manusia yang cerdas tanpa dukungan serta bimbingan guru. Yang diwariskan oleh guru bukan kekayaan material melainkan mata kunci untuk menempuh kehidupan yang lebih luas lagi. Kemewahan bukan menjadi tujuan utamanya.
Siapa pun yang pernah membaca sejarah Islam tentu paham betul bagaimana Nabi Muhammad saw menghargai profesi guru. Siapa pun tahanan yang kalah dalam perang akan memperoleh kebebasan asalkan dia bersedia mengajar menulis dan membaca kepada umat Islam yang masih buta huruf. Pandangan Nabi seperti itu tentu saja terbilang istimewa, karena beliau sendiri umi, tidak bisa membaca dan menulis. Tapi Nabi memberikan penghargaan yang sangat istimewa kepada siapa pun yang memiliki ilmu, meskipun dia itu dari pihak lawan. Ilmulah yang mengantarkan manusia sehingga dapat menghasilkan peradaban yang sangat tinggi. Tanpa ilmu, peradaban sebagaimana sedang kita nikmati saat ini, tidak mungkin akan tercapai.
Memperingati Hari Guru Internasional dalam kondisi krisis pandemi COVID-19 saat ini bisa dipastikan akan mendapat perhatian khusus dari ahli pendidikan di seluruh dunia. Plus minusnya akan menjadi bahan pertimbangan utama. Sewajarnyalah kalau para ahli pendidikan di Indonesia pun ikut berpartisipasi secara aktif. Jangan biarkan keluh kesah (betapa pun beratnya) menumpulkan kreatifitas.***