majalahsora.com, Kota Bandung – Prof. Dr. Sri Rustiyanti, S.Sen., M.Sn., menyampaikan Orasi Ilmiah Estetika Groteks: “Refleksi Aistanomai sebagai Penguatan Keilmuan Seni Budaya Folklor”, saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Seni Budaya Folklor, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Rabu, (9/8/2023), di Gedung Kesenian Sunan Ambu ISBI Bandung jalan Buah Batu No 212, kota Bandung.
Dalam forum Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar ISBI Bandung, Prof. Sri menjelaskan, tulisan Estetika Groteks sebagai “background knowledge” dari perjalanan yang panjang fenomena yang dirinya alami sendiri secara alamiah melalui riset menjadi kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Lebih lanjut Prof. Sri mengatakan, orasi ilmiah yang ia sampaikan sebagai refleksi perjalanan waktu yang panjang tidak instan, tetapi secara simultan dan mengalir dengan berjalannya waktu selama mengabdi di kampus dan mengajar sejak 1993 kemudian diangkat menjadi PNS Dosen Tetap tahun 1994.
Rektor ISBI Bandung, Dr. Retno Dwimarwati, S.Sen., M. Hum
“Filosofi kerja saya yaitu Aku Dari Bubat, singkatan Akar Kuat Daun Rimbun Buah Lebat,” kata Prof Sri.
Prof. Sri menambahkan, Estetika Groteks yaitu perkembangan konsep estetika sebagai cabang ilmu filsafat yang sangat holistik,
“Estetika Groteks sebagai penguatan kepakaran keilmuan Guru Besar saya di bidang ilmu Seni Budaya Folklor,” kata Prof Sri.
Prof. Dr. Sri Rustiyanti, S.Sen., M.Sn., usai dikukuhkan menjadi guru besar ISBI Bandung
“Pemahaman seni budaya folklor sangatlah holistik, karena mencakup semua bidang seni, baik seni sastra, seni pertunjukan maupun seni rupa.”
“Adapun bidang ilmu kepakaran untuk usulan Guru Besar yaitu lebih difokuskan pada Folklor sebagai lisan yang merupakan lintas disiplin ilmu dengan background knowledge dan riwayat pendidikan irisan keilmuan yang saya tekuni dari kajian seni pertunjukan, kajian budaya, serta homebase di prodi Antropologi Budaya Fakultas Budaya dan Media,” imbuhnya Prof. Sri.
Lanjutnya kronologi perjalanan Estetika Groteks diawali dengan pemikiran estetika APaRaPa yang diadopsi dari kearifan lokal di Minangkabau, yaitu filosofi Alaua Patuik Raso Pareso.
Tampilan tarian
“Estetika ini untuk menakar kompetensi penari dari tingkat dasar atau alua, madya atau pareso, hingga mahir atau raso pareso,” pungkas Prof. Sri.
Dalam kesempatan yang sama, Rektor ISBI Bandung, Dr. Retno Dwimarwati, S.Sen., M. Hum., mengatakan, ISBI Bandung merasa bangga dengan capaian Prof. Dr. Sri Rustiyanti, S.Sen., M.Sn., sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Seni Budaya Folklor.
Rektor ISBI Bandung mengatakan, gelar guru besar adalah capaian tertinggi akademik yang senantiasa didambakan para akademisi, perjuangan panjang seringkali memerlukan kesabaran, ketelitian, dan semangat luar biasa untuk menempuh prosesnya.
Foto bersama dengan suami, anak dan menantu
Menurut Rektor ISBI Bandung, banyak suka duka yang dialami civitas akademika dalam pencapaian tersebut, bahkan kadang kandas karena waktu pensiun, dan capaian ini harus disyukuri sebagai rahmat yang tak terkira, baik untuk individu maupun lembaga, karena dengan demikian Prof Sri Rustiyanti menambah deretan guru besar di ISBI Bandung yang memang masih sedikit.
“Saya ucapkan selamat pada Prof Sri Rustiyanti baik secara pribadi maupun kelembagaan atas capaian gelar akademik tertinggi di ISBI Bandung, semoga ke depan capaian ini semakin memberi kontribusi positif bagi kemajuan dan pengembangan ISBI Bandung,” kata Rektor ISBI Bandung.
Rektor ISBI Bandung menambahkan semoga capaian ini semakin menginspirasi dan berkontribusi besar pada penggalian pilar ISBI Bandung dalam konservasi, rekonstruksi, revitalisasi dan inovasi hingga tercipta ekosistem ketahanan budaya di negeri tercinta ini.
Foto bersama dengan dosen dan mahasiswa ISBI Bandung
Rektor ISBI Bandung mengungkapkan, objek penelitian pada unsur kebudayaan yang dilakukan Prof Sri diadopsi dari kearifan lokal Minangkabau yaitu filosofi Alaua Patuik Raso Pareso menjadi unsur estetika APaRaPa.
“Aplikasi dari estetika tersebut diterapkan pada karya TaTuPa, merupakan akronim dari kata Tabuh yaitu alat menghasilkan bunyi-bunyian, tubuh, keseluruhan badan, dan Padusi, istilah perempuan di Minangkabau,” kata Retno.
“Selaras dengan perjalanan hidup berbekal filosofi “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” dengan “pindah cai pindah tampian” melahirkan simililaritas transformasi padang dan Sunda.”
“Penelitian folklor sangat luas mencakup semua bentuk folklor di setiap suku bangsa di Indonesia, sekaitan dengan Lembaga ISBI Bandung, maka folklor diselaraskan dengan UU Pemajuan Kebudayaan, hal ini menjadi penting dalam aplikasi OPK, baik pada program pelestarian, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan yang digulirkan pemerintah, Pluralisme budaya Indonesia menjadikan folklore dengan berbagai bentuknya sebagai hutan belantara yang perlu dirambah dan dijajagi,” pungkas Rektor ISBI Bandung. [SR]***