FGD USB Sangga Buana YPKP Bandung, yang diadakan oleh Prodi Ilmu Komunikas
majalahsora.com, Kota Bandung – Dalam rangkaian Pekan Komunikasi yang diadakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi USB Sangga Buana YPKP, Bandung, menggelar beberapa acara, salah satunya kegiatan Focus Grup Discussion (FGD) dengan tema “Masa Depan Pers Indonesia”, dilaksanakan Kamis (29/3/2018) di ruang Prodinya.
Dihadiri para awak media cetak, radio, televisi dan online, seperti Inilahkoran, Mangle, Galura, TVRI, PRFM, Kompas.com, Detik.com, Majalahsora.com, dan lainnya. Selain itu ada perwakilan dari Unisba serta pemerhati media.
Acara FGD-nya sendiri dibagi menjadi tiga sesi, ada beberapa paparan yang disampaikan, di antaranya mengenai pemberitaan hoax, perkembangan media, serta memaparkan pengalaman dan masalah yang dihadapi awak media tersebut selama bergelut di dunia jurnalistik.
Seperti yang dituturkan oleh salah satu wartawan media online, bahwa membuat berita online ditungtut harus lebih teliti jangan sampai kecolongan, informasi harus falid tidak mengandalkan sumber dari medsos. Maka sebelum beritanya naik di web, harus benar-benar bisa dipertanggung jawabkan dan jelas sumbernya.
Tidak berbeda jauh dengan media online, awak radio pun harus menyaring setiap info yang masuk ke ruang redaksi, terutama berita yang disampaikan dari masyarakat (citizen journalism). “Kami selalu menerima pemberitaan dari masyarakat, karena konsep kami merupakan citizen journalism, jadi kami harus benar-benar memfilternya, jangan sampai ada berita yang menimbulkan masalah dikemudian hari. Apalagi menyampaikan berita hoax. Pendengar radio pun kini agak memprihatinkan, bisa dibilang menurun,” tutur Toto dari PRFM.
Media tv memiliki karakteristik yang berbeda, karena untuk pemberitaan harus melewati beberapa tahapan. “Kalau pemberitaan tv itu, kita memerlukan pengambilan gambar dan audio, jadi kalau ada kejadian harus datang langsung ke TKP. Contohnya saat banjir bandang di Cicaheum, Bandung, beberapa waktu lalu, kami sempat terjebak macet karena sulit untuk masuk ke lokasi kejadian, jadi harus benar-benar berjuang mendapatkan rekamannya,” terang Abby dari TVRI.
Untuk media cetak sendiri, yang kini dikepung oleh hadirnya media online yang terus tumbuh cepat, memiliki permasalahan tersendiri. “Kami terus berusaha bersaing dengan info cepat yang diberitakan oleh media online. Berita online itu, 30 menit atau satu jam kemudian setelah kejadian, liputannya akan muncul di web. Sedangkan kalau cetak, hari ini meliput, paling cepat besok pagi baru bisa dibaca oleh masyarakat. Namun perlahan tapi pasti, kami optimis media cetak akan tetap hidup, dan seketat mungkin jauh dari berita hoax,” ucap Oki dari Inilahkoran.
Pada sesi lainnya, Asep GP, wartawan Tabloid Sunda Galura yang pernah menjadi wartawan Majalah Sunda Mangle, menjelaskan bahwa menjadi wartawan itu harus memiliki dedikasi yang tinggi. “Keadaan di lapangan itu beda-beda, begitu pun narasumber atau lembaga yang diliputnya. Jadi kita harus tahan banting, apalagi saat ada perlakuan dari oknum yang tidak menghargai profesi wartawan. Suka ada saja, tong epes meer, cek urang Sunda mah,” terang Asep GP, yang puluhan tahun pernah bekerja di Majalah Sunda Mangle.
Dirinya pun menambahkan, kini banyak wartawan muda yang kadang tidak menghargai wartawan yang telah lama menjalani profesinya.
Hal itu dihamini oleh Unay, wartawan senior Mangle, “Kadang wartawan muda itu sok tara ngajenan ka nu senior, asa ngarasa geus asa pang aingna, asa pang pinterna, asa pangnyahona, dan lainnya,” katanya.
Diskusi pun berjalan semakin menarik, karena pihak USB Sangga Buana YPKP ingin mengambil pembelajaran dari kegiatan FGD tersebut, untuk melahirkan jurnalis-jurnalis handal dari kampusnya.
Ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari FGD tersebut. Seperti yang dituturkan oleh Roni, Ka Biro Kemahasiswaan dan Alumni, bahwa ke depan menjadi seorang jurnalis itu harus memiliki idealisme, profesionalisme, kaberpihakan pada kebenaran, pribadi yang memegang teguh agamanya, memiliki adab yang baik, pemberitaan yang bisa dipertanggung jawabkan serta tidak mengutamakan kepentingan materi saja.
Masih kata Roni, setiap media memiliki karakteristik dan massa yang berbeda, baik itu cetak, online, radio, serta televisi. Meskipun media cetak banyak yang mulai tutup tapi perlahan tapi pasti ada juga yang tumbuh dan lahir kembali.
“Dengan diskusi ini kami menjadi semakin yakin, bahwa pondasi untuk melahirkan seorang jurnalis handal itu harus hadir saat mereka masih menimba ilmu di kampus. Seperti perjuangan kami di USB Sangga Buana YPKP. Di samping itu tadi yang dituturkan Bu Een dari Unisba, bahwa kampusnya telah membuat LSP (Lembaga Profesi Sertifikasi) bagi mahasiswanya, insya Alloh akan kami lakukan juga. Mudah-mudahan ke depan masa depan pers Indonesia semakin maju,” kata Roni Tabroni, S.SOs., M.Si., saat menutup acara. [SR]***