majalahsora.com, Kota Bandung – Ramainya pemberitaan mengenai hasil survey BPS (Badan Pusat Statistik) Regional Jawa Barat tahun 2017, yang menyatakan lulusan SMK di Jawa Barat menjadi penyumbang terbesar jumlah penggangguran di Jabar, menjadi tamparan keras bagi Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat (Disdik Jabar).
Namun sebelumnya hal tersebut pernah disanggah oleh Dr. Dodin R Nuryadin (Dodin), Kepala Bidang SMK Disdik Jabar. Menurut Dodin, survey yang dilakukan BPS Regional Jabar dilaksanakan saat bulan Juni sampai Agustus, sedangkan pada saat itu banyak siswa SMK yang baru lulus dan belum menerima ijazah maupun sertifikat, yang biasanya akan diberikan saat bulan Oktober dan November.
Senada dengan Dodin, Dr. Asep Tapip Yani (Asep), Kepala SMKN 4 Kota Bandung yang juga Ketua Umum AKSI (Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia) pun tidak setuju dengan hasil survey BPS, yang menyatakan siswa SMK di Jabar menjadi penyumbang terbesar pengangguran.
Ia menuturkan bahwa lulusan SMK itu disiapkan untuk BMW (bekerja melanjutkan dan wirausaha). “Saya yakin lulusan SMK itu memiliki keahlian sesuai dengan kompetensi keahliannya, jadi saya tidak khawatir mereka menganggur,” ujar mantan Kepala SMKN 2 Kota Bandung, di ruang kerjanya, Kamis (14/12/2017).
Asep menambahkan, jangan melihat dari satu sisi saja, apalagi menyalahkan SMK yang telah meluluskan siswanya. Ia pun menuntut, agar perusahaan atau instansi pun bisa mengimbangi penyediaan lowongan kerjanya.
Di samping itu, dirinya menegaskan agar BPS mensurvey lulusan SMK yang bekerja secara informal, jangan mensurvey lulusan SMK yang bekerja di perusahaan dan instansi formal saja! “Coba survey lulusan SMK yang bekerja secara informal. Jumlahnya pasti lebih banyak. Tadi sudah saya bilang lulusan SMK itu sudah memiliki bekal keahlian. Ada yang menjadi ahli instalasi listrik, las, dan lainnya. Mereka memiliki penghasilan tetap juga. Masa dibilang menganggur,” tegas Asep, Ketua Umum AKSI periode 2017-2023.
Sebagai kepala sekolah, setiap tahun, Asep memiliki data mengenai lulusannya. Waktu memimpin SMKN 2 Kota Bandung, dari jumlah 400 lulusan, ada 25 persennya yang sudah diterima di berbagai perusahaan. Begitu pula degan lulusan SMKN 4 Kota Bandung. “Biasanya setiap tahun ada 100 siswa yang sudah diterima. Meskipun mereka belum lulus. Selain itu banyak yang menjadi Juragan SMK atau wirausaha, dan melanjutkan kuliah, ada juga yang kuliah sambil bekerja,” imbuhnya.
“Pengangguran itu berbanding lurus dengan ekonomi yang sedang berkembang. Fungsi SMK memang meluluskan siswa untuk bekerja, tapi kenyataannya tidak bekerja semua. Bukan karena mereka tidak mampu atau tidak kompeten, tetapi memang kesempatan kerjanya tidak ada. Bicara kesempatan kerja otomatis bicara peluang dan kondisi ekononomi atau industri. Jadi jangan dibebankan ke SMK. Bukan tidak kompeten tapi memang kesempatan kerjanya tidak ada,” sambung Asep.
“Kesalahannya sejak perencanaan, kita ini tidak punya perencanaan yang terintegrasi dengan berbagai perusahaan. Pemerintah tidak punya blue print,” tambahnya.
Dirinya membandingkan dengan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Jerman. Di sana empat tahun yang akan datang telah dihiitung berapa jumlah lowongan kerja yang tersedia, berapa jumlah yang pensiun serta keahlian apa saja yang diperlukan.
Pemerintahnya terlibat langsung dengan perusahaan-perusahaan. Malah ada perusahaan yang diberi SK untuk terlibat langsung dari perencanaan sampai melakukan PSG (pendidikan sistem ganda). Di mana di perusahaan itu, ada satu divisi yang menangani secara khusus praktek siswa SMK.
Berbanding terbalik dengan Indonesia, biasanya siswa SMK yang praktek, dibimbing secara sambilan seperti oleh bagian SDM-nya. Sedangkan di Jerman, 50 persen perusahaannya ditugaskan oleh pemerintah untuk melayani siswa PKL (praktek kerja lapangan), dibentuk divisi khusus pelayanan praktek siswa, seta ada manajer khususnya. Di samping itu siswa yang PKL tidak mengerjakan pekerjaan pabrik, tetapi diarahkan bagaimana melatih anak.
“Sebetulnya pendidikan sistem ganda di Indonesia telah didampingi oleh Jerman dari 20 tahun ke belakang. Saya paham betul, karena saya menulis disertasi mengenai pendidikan sistem ganda. Setelah 10 tahun ketemu pendamping dari Jerman lagi, masih membicarakan hal yang sama, saya bingung juga apa yang salah. Mungkin pergantian pejabat yang suka merubah-rubah kebijakan sehingga tidak ajeg,” ujar Asep sambil tersenyum.
“Intinya saya tidak setuju SMK menjadi penyumbang terbesar pengangguran di Jawa Barat!,” pungkasnya, sambil menghela napas. [SR]***