majalahsora.com, Kota Bandung – Delegasi Korea Selatan dari Korean Research Institute for Vocational and Training (KRIVET), HanGang Media High School, Global Haksan High School, sengaja datang ke SMKN 9 Bandung, pada hari Rabu (12/6/2024)
Dalam kegiatan ini diadakan kerjasama serta berbagi praktik baik dan lainnya. Rencananya berlangsung tanggal 10-15 Juni 2024.
Saat pembukaan dihadiri oleh Direktur Sekolah Menengah Kejuruan, Kemendikbudristek, Dr. Wardani Sugiyanto, M.Pd., Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VII, Dr. Ai Nurhasan, S.AP., M.Si., dan banyak lagi.
Pada kesempatan ini delegasi Korsel sharing informasi mengenai kondisi sekolah vokasi atau SMK di “Negeri Ginseng”, juga diadakan diskusi yang diikuti oleh perwakilan perguruan tinggi, kepala sekolah, guru termasuk guru kejuruan dari Korea Selatan.
Delegasi Korea Selatan berfoto bersama Direktur SMK Kemendikbudristek, Kepala Cadisdik VII, MKK SMK Kota Bandung, Guru SMK dan lainnya
Di tempat acara Kepala SMKN 4 Kota Bandung Dr. Agus Setiawan, S.Pd., M.Si., menanggapi kegiatan tersebut, kata dia kerjasama yang diselenggarakan dituangkan ke dalam bentuk diskusi.
“Ini merupakan kerjasama G to G yaitu antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Korea Selatan, melalui KRIVET melakukan survey atau penelitian ke berbagai negara di Asia. Salah satunya Indonesia. Penelitian mereka disampaikan ke responden yang ada Indonesia. Karena Indonesia menjadi sample di penelitian tersebut. Termasuk Korea Selatan sendiri,” kata Agus.
Hasil penelitian yang disampaikan negara Korsel tersebut memiliki kesamaan dengan masalah yang ada di Indonesia. Yakni stigma atau pandangan masyarakat terhadap SMK. SMK dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orangtua.
Dalam fenomena ini, kebanyakan orangtua lebih memilih untuk menyekolahkan anaknya hingga jenjang perkuliahan.
Direktur Sekolah Menengah Kejuruan, Kemendikbudristek, Dr. Wardani Sugiyanto, M.Pd., (kanan)
Paradigma masyarakat lulusan SMK hanya disiapkan sebagai tenaga siap kerja saja.
Lalu ada beberapa persamaan antara Indonesia dengan Korea Selatan, pertama dari segi kurikulum. Kurikulum Korea Selatan dan Indonesia sama-sama berubah setiap 10 tahun sekali.
Kedua, yaitu mencetak para sarjana namun lapangan pekerjaan masih itu-itu saja. Bahkan menyempit. Artinya antara kompetensi yang dibutuhkan dengan lapangan pekerjaan belum selaras.
“Ketika sudah dapat predikat ahli, mereka tidak mau melakukan pekerjaan. Ada sisi anak mamih yaitu malas, ada juga satu sisi yang berpandangan lebih baik langsung ke perguruan tinggi. Ini sama di kita juga begini. Khususnya di perkotaan, dan kalau di Korea Selatan secara umum kebanyakan inginnya melanjutkan,” kata Agus, yang juga Plt. Ketua PMI Kota Bekasi.
Kepala Cadisdik Wilayah VII, Dr. Ai Nurhasan, S.AP., M.Si., (kanan)
Setelah mendengarkan paparan dari delegasi Korea Selatan, kata Agus ternyata lulusan SMK yang melanjutkan ke perguruan tinggi, setelah lulus 50 persennya tidak memperoleh pekerjaan. Ini dikarenakan tidak sebanding antara lapangan pekerjaan yang tersedia dengan kulaifikasi sarjana yang ada.
Melihat persamaan dan fakta tersebut, KRIVET menyampaikan kepada para sekolah SMK yang hadir akan upaya yang akan dilakukannya.
“Diskusi ini memang ada titik terang. Seperti membangun persepsi yang sama dan memiliki persoalan yang hampir sama. Sehingga di sini kita bertukar pikiran dengan strategi yang dapat dilakukan bersama. Indonesia itu bisa maju kalau vokasinya maju,” ujar Agus.
Upaya utama yang dilakukan adalah agar lulusan SMK tidak diberi stigma lulusan pekerja terlebih dahulu.
Delegasi Korea Selatan saat memaparkan materi
Strateginya antara lain dengan memberikan informasi sejelas-jelasnya. Lapang pekerjaan pun harus sesuai dengan kompetensi yang ada. Kurikulum dituntut disusun secara bersama-sama sesuai penggunanya.
“Sosialisasi informasi kepada orangtua yang benar, dibimbing oleh pembimbing karir yang benar sesuai minat dan bakatnya dan menjalin link and match dengan industri. Caranya adalah kurikulumnya disusun bersama. Kita tidak kurikulum dogmatis, jadi kurikulum diserahkan kepada mereka. Disusun bersama,” ujar Agus.
Outputnya, sekolah vokasi dapat diandalkan menjadi kebanggaan dalam mendukung perekonomian di Indonesia.
Karena menurut Agus, secara demografi lulusan SMK adalah yang paling banyak tenaganya, atau tenaga produktif tepatnya. Lulusan SMK harus menjadi manusia yang produktif.
Paparkan mengenai hasil penelitian sekolah vokasi di Negeri Ginseng
“Setelah diskusi ini, kita tidak terpatok pada hanya hasil itu saja. Kita membangun kemitraan. Harus menyiapkan tenaga kerja yang sesuai dengan bidangnya. Yang sesuai dengan kebutuhan industri itu sendiri,” imbuhnya.
“Untuk para kepala sekolah, bahwa transformasi kepala sekolah itu harus menjalin kemitraan secara global. Tidak hanya dalam negeri. Supaya kita memahami treatment apa yang seharusnya. Karena sekat-sekat ini sudah terbuka. Saya yakin Indonesia lebih maju dengan ini. Karena ini berkembang terus,” tandasnya.
Untuk kemajuan SMK di Indonesia secara umum, Agus berharap tetap dapat bekerja sama dengan pihak KRIVET dan lembaga serupa.
Ia berharap pendidikan vokasi harus menjadi prioritas utama. Sehingga nantinya menghasilkan tenaga kerja sesuai kebutuhan dunia usaha dunia industri. [SR]***