Masalah masih banyaknya lulusan SMK yang belum memperoleh lapangan kerja sempat menjadi pembicaraan ramai. Banyak pendapat yang dikemukakan namun sedikit sekali solusi yang ditawarkan. Bahkan pemerintah masih bersikukuh pada pendapat dan menganjurkan pentingnya pendidikan vokasi.
Membiarkan masalah tetap menggantung tampaknya sudah menjadi pola pemikiran para pembuat keputusan di negeri ini. Tidak sedikit persoalan penting yang justru mendapat reaksi kurang positif dari sebagian masyarakat.
Ambil misal revisi terhadap undang-undang tentang KPK, omnibuslaw serta beberapa kebijakan lainnya. Bahkan urusan upah buruh pun tak henti-hentinya menjadi perdebatan.
Khusus berkaitan dengan upah buruh misalnya, ada pendapat yang sederhana. Karena negara kita menganut sistem ekonomi liberal sudah semestinya jika buruh mendapat upah yang tinggi. Apa alasannya? Sistem ekonomi liberal mendorong warga supaya konsumtif.
Jika belanja masyarakat tinggi, industri yang menjadi tulang punggung sistem ekonomi liberal akan maju. Sebaliknya, jika masyarakat tidak sanggup berbelanja, misalnya karena upah yang mereka terima terbilang rendah, industri pun tidak akan maju.
Pola pikir seperti itu terbilang sangat sederhana. Tapi kita, khususnya pemerintah, enggan menganut pola pikir seperti itu. Ambil contoh dalam pengadaan beras. Kebutuhan kita akan bahan pangan pokok tersebut sangat tinggi. Kebutuhan seperti itu hanya mungkin akan dapat dipenuhi jika produksi beras juga tinggi. Tapi yang terjadi di negara kita justru tidak mengarah ke sana.
Lahan sawah yang subur sudah tidak terhitung banyaknya yang beralih fungsi menjadi kawasan industri. Sementara untuk memenuhi kebutuhan beras pemerintah mengambil jalan melakukan impor yang menelan devisa tidak sedikit.
Bagaimana dengan kebijakan di bidang pendidikan?
Waktu kurikulum 2013 pertama kali dibuka ke publik, pujian yang diarahkan kepadanya sangat tinggi. Di lapangan ceritanya menjadi lain. Agar kurikulum tersebut dapat dilaksanakan sesuai estimasi, guru-guru harus ditatar terlebih dulu. Melakukan penataran terhadap guru yang jumlahnya sangat banyak di berbagai daerah yang beragam pula, tentulah bukan urusan sederhana.
Belum lagi hitungan anggaran yang dibutuhkannya. Akibatnya, pelaksanaan kurikulum yang banyak dipuji tersebut tidak dapat dilaksanakan secara serentak. Efeknya tentu akan terus berlanjut.
Cerita berkaitan dengan Kurikulum Merdeka pun tidak kurang serunya. Kalau kita pikirkan lewat pemahaman yang sederhana, bagaimana mungkin pelaksanaan keputusan seperti itu akan berhasil dengan baik sementara untuk memahaminya saja membutuhkan waktu selama satu periode kepemimpinan kepala negara.
Sementara persoalannya tidak berhenti di sana. Tidak habis pikir mengapa pemerintah mengambil keputusan menempatkan guru sebagai tenaga kerja dengan sistem kontrak. Bukankah proses pendidikan itu merupakan rangkaian yang berkelanjutan? Sementara yang namanya tenaga kontrak, tidak memiliki peluang ke arah sana. Alasan efisiensi tidak sepatutnya diterapkan di lingkungan pendidikan.
Sebaliknya, anggaran setinggi apa pun harus dipenuhi oleh pemerintah supaya warganya menjadi manusia-manusia yang maju dan unggul.
Di masa lalu yang namanya guru bahkan diikat dengan memberikan ikatan dinas kepada siapa pun yang berniat menjadi guru. Dengan sistem seperti itu, setiap guru merasa berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Cobalah tanya kepada guru-guru yang pernah mengajar di masa lalu. Apakah mereka mengeluh karena harus mengajar di sekolah yang letaknya sangat di pelosok?
Kita masih percaya, di tengah masyarakat sekarang ini minat untuk menjadi guru masih cukup tinggi. Generasi muda tidak sedikit yang masih yakin pada idealisme. Lihat saja bagaimana kesan mereka yang pernah terlibat dalam program Indonesia Mengajar. Mereka ditempatkan di daerah-daerah terpencil dengan bekal serta perlengkapan seperlunya. Jika ditanyakan kepada mereka, apakah kapok atau menyesal ikut terlibat dalam program seperti itu?
Sebagian besar dari mereka mengakui justru telah memperoleh pengalaman yang sangat berharga.
Mungkin para capres/cawapres serta calon anggota legislatif dan calon kepala daerah yang akan berkompetisi dalam pemilu tahun depan sebaiknya mencermati masalah pendidikan ini dengan pandangan yang lebih terbuka. Yang menjadi prioritas bukanlah sebatas kepentingan parpol yang menjadi pendukungnya.
Tengoklah bagaimana kondisi pendidikan di lingkungan di mana mereka berada. Tidak perlu jauh-jauh melakukan studi banding ke Finlandia atau negara maju lainnya. Simaklah keinginan tetangga. Dengarkanlah keluhan mereka. Lihat pula kondisi sarana pendidikan yang sudah ada sekarang. Dengan fasilitas seperti itu apakah masih percaya lulusannya tidak akan kesulitan memperoleh kesempatan kerja nanti?***