Socrates termasuk yang tidak setuju dengan sistem demokrasi. Filsuf itu berpendapat, sistem demokrasi membuka kemungkinan rakyat akan dipimpin oleh seorang yang bodoh atau jahat. Para pemikir Yunani klasik pada dasarnya sepakat bahwa yang layak menjadi pemimpin rakyat adalah orang yang arif dan bijaksana. Tapi, segera muncul perdebatan. Bagaimana menentukannya? Apakah dengan ditunjuk atau dipilih secara terbatas oleh kelompok mereka yang dipandang arif dan bijaksana pula?Lalu, apakah seseorang yang sebelumnya dianggap arif dan bijaksana itu setelah menjadi pemimpin rakyat ada jaminan akan tetap arif dan bijaksana?
Pendek kata, sejak dulu kala manusia tak henti-hentinya berpikir tentang kriteria seorang pemimpin. Pada dasarnya manusia sepanjang hidupnya memang membutuhkan pemimpin. Keinginan ke arah itu bisa ditentukan oleh kesepakatan dalam pengertiannya yang sederhana. Misalnya seseorang yang dianggap hebat, perkasa, atau memiliki keistimewaan diangkat menjadi pemimpin. Atau bisa juga lewat kekerasan. Seseorang yang unggul dalam peperangan lalu diangkat atau mengangkat dirinya sebagai pemimpin. Kemungkinannya, rakyat patuh karena terpaksa.
Bahwa demokrasi dianggap sebagai cara yang cukup ideal, tidak dengan sendirinya menjadi pilihan yang paling baik. Meskipun seseorang telah dipilih oleh rakyat, tidak otomatis dia boleh sendirian melaksanakan kekuasaannya. Di antaranya dibutuhkan sejenis dewan atau lembaga yang dianggap mewakili rakyat. Di tengah sistem seperti itu memang timbul pertanyaan. Bukankah seorang pemimpin itu sudah dipilih oleh rakyat mengapa harus ada dewan perwakilan rakyat lagi?
Di beberapa negara bahkan berlaku sistem yang lebih rumit lagi. Di samping ada perdana mentri dan parlemen, ada pula raja, ratu, sultan atau kaisar seperti yang berlaku di Inggris, Malaysia atau Jepang. Pada intinya, jangan sampai seseorang memiliki wewenang yang terlalu besar.
Keinginan manusia untuk memiliki wewenang yang besar memang menjadi salah satu nalurinya. Kecenderungan seperti itu akan menjadi lebih besar lagi manakala seseorang telah secara resmi menjadi pemimpin, tak peduli apakah kekuasaannya itu diperoleh lewat proses demokrasi atau yang lainnya.
Salah satu ambisi yang paling umum adalah melanggengkan kekuasaan. Kedudukan sebagai raja/ratu atau kaisar memiliki kewenangan ke arah itu. Kekuasaan berlaku secara turun temurun. Tapi kemungkinan ke arah itu juga terbuka lewat proses demokratis. Sistem demokrasi membuka kemungkinan setiap orang dapat dipilih menjadi pemimpin, termasuk yang menjadi bagian dari pemimpin sebelumnya. Istri, anak, menantu boleh menjadi penerusnya asalkan dipilih oleh rakyat. Hal itu antara lain pernah terjadi di AS, India, Filipina, Pakistan, Singapura, Malaysia dan Indonesia.
Meskipun kenyataan seperti itu pernah terjadi di berbagai tempat, tapi ada kesan kita selalu memandangnya sebagai sesuatu yang negatif. Pandangan demikian akan lebih kental lagi jika prosesnya terkesan dipaksakan.
Proses memilih pemimpin memang selalu dilematis. Di negara-negara yang tidak begitu besar, seperti Singapura, prosesnya mungkin tidak begitu rumit bila dibandingkan dengan proses pemilihan pemimpin di Indonesia. Memilih presiden di AS misalnya dikenal sebagai proses yang paling rumit dan paling mahal.
Ongkos demokrasi memang tidak murah, apakah itu berkaitan dengan anggaran negara maupun beban bagi perorangan. Meskipun demikian, beban berat seperti itu tetap menjadi daya tarik yang sangat menarik. Seseorang rela mengeluarkan ongkos ratusan juta atau sampai miliaran rupiah demi meraih ambisinya.
Sampai saat ini, demokrasi menjadi salah satu pilihan yang dianggap relatif mewakili kehendak rakyat dalam memilih pemimpinnya. Yang masih menjadi persoalan adalah prosesnya. Pelaksanaan demokrasi di berbagai negara memang bervariasi. Salah satu yang menjadi acuan demokrasi di Indonesia misalnya adalah kebebasan berpendapat. Di Singapura sedikit berbeda. Meskipun sama-sama menganut sistem demokrasi, kebebasan berpendapat di sana agak dibatasi. Yang lebih diutamakan adalah stabilitas dan kesejahteraan.
Modivikasi demokrasi memang sangat dimungkinkan karena kultur masyarakatnya juga berbeda. Kalau Indonesia mengadopsi sistem demokrasi liberal seperti di AS, bisa dipastikan tidak akan cocok karena kultur masyarakat Indonesia berbeda dengan kultur masyarakat AS. Yang bisa dipastikan, apa yang dikemukakan Socrates seperti dikutip di atas masih layak untuk menjadi bahan pertimbangan. Kemungkinan rakyat dipimpin oleh seorang yang jahat atau bodoh, bisa menimbulkan tafsir yang menarik. Dan itulah mengapa demokrasi selalu aktual untuk diperdebatkan.***