majalahsora.com, Ternate – “Tindak pidana terorisme yang melibatkan anak di Indonesia menjadi fenomena memprihatinkan yang mengancam tumbuh kembang anak, baik dari sisi kehidupan masyarakat, kepribadian, pemahaman agama, serta nasionalisme.Tindak Pidana terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena menimbulkan ancaman, ketakutan, ketidaknyamanan, kekhawatiran, kehancuran, serta menelan banyak korban. Pelaku kejahatan ini bukan hanya perorangan tapi juga kelompok berjejaring terorganisir baik di dalam maupun di luar negeri,” kata Hasan, Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum dan Stigmatisasi, baru-baru ini.
Ia menambahkan bahwa anak banyak terlibat dalam tindak pidana terorisme karena dibujuk, dirayu, didoktrin, dan diajarkan untuk melakukan tindakan radikal serta terorisme oleh orang terdekat, seperti tetangga, guru, teman bermain, bahkan mirisnya oleh oknum orangtua.
Dua faktor penyebab munculnya paham radikalisme dan tindak pidana terorisme, yaitu faktor internal, seperti minimnya pemahaman anak tentang agama, wawasan kebangsaan, jenis kelamin, umur, intelegensi, dan kematangan emosi anak.
Sedangkan untuk faktor eksternal berupa keluarga, lingkungan, media, kemiskinan, pendidikan.
“Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ada sebanyak 500 orangtua yang berada dalam lembaga permasyarakatan karena terlibat tindak pidana terorisme, 1.800 anak dari pelaku terorisme tersebut mengalami stigmatisasi dan pelabelan, berupa pengucilan, diskriminasi, dilarang bergaul, bahkan ada yang dikeluarkan dari sekolah. Umumnya mereka mengalami trauma sehingga perlu mendapat pembinaan, pendampingan dan pemulihan,” papar Hasan.
Menindaklanjuti masalah ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama Pemerintah Provinsi Maluku Utara menggelar Pertemuan Forum Koordinasi tentang Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme di Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara.
Pertemuan ini bertujuan untuk memfasilitasi pemerintah daerah dalam menangani upaya perlindungan anak dari radikalisme dan tindak pidana terorisme.
“Masalah perlindungan anak adalah otonomi daerah yang pelaksanaannya dilakukan bersama antara Kemen PPPA dan Pemerintah Daerah. Kemen PPPA juga mengharapkan dengan adanya kebijakan tentang Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Terorisme ini, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Maluku Utara dapat mengoordinasikan dengan baik bersama organisasi perangkat daerah (OPD) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),” lanjut Hasan.
Dirinya menambahkan, dengan adanya kebijakan tersebut, diharapkan ada upaya pencegahan yang dilakukan OPD, kanwil-kanwil serta LSM dan lembaga pemerhati anak, agar anak tidak terpapar radikalisme dan tindak pidana terorisme. Pencegahan tersebut berupa sosialisasi, advokasi, penyuluhan, penyampaian informasi melalui materi komunikasi informasi edukasi (KIE) dan lain lain, dengan sasaran keluarga atau orangtua sebagai unsur utama dalam memberikan pembinaan, pengawasan, memberikan nilai budi pekerti yang baik terhadap anak.
Selain itu juga ditujukan kepada masyarakat, forum anak atau organisasi masyarakat yang ada di Maluku Utara.
Upaya lain yang dilakukan yaitu memberikan layanan bagi anak korban, anak pelaku, anak dari pelaku yang terjerat radikalisme dan tindak pidana terorisme dalam bentuk edukasi tentang pendidikan, nilai-nilai kebangsaan dan ideologi, konseling tentang bahaya terorisme, rehabilitasi sosial, dan pendampingan yang bersifat keibuan, humanistik, dan penuh kasih sayang.
“Oleh karena itu, kami meminta pemerintah daerah untuk melanjutkan pembahasan peraturan gubernur ini dengan OPD terkait. Untuk selanjutnya berkoordinasi dengan biro hukum pemda Maluku Utara untuk dibahas dan diupayakan sebagai dasar pijakan untuk menyelenggarakan pelindungan anak dari radikalisme dan terorisme. Selain itu, perlu dilaksanakan rapat koordinasi untuk melihat perkembangan penyusunan draft pergub tersebut yang dilaksanakan stekeholder terkait. Setelah itu dipantau dan dievalusi serta dilaporkan kepada gubernur,” pungkas Hasan.
Sementara itu Kepala Dinas PPPA Provinsi Maluku Utara, Masni B.A menegaskan akan mengupayakan penyusunan kebijakan tentang perlindungan anak dari radikalisme dan terorisme tahun 2019 ini. Namun bila tidak berhasil, akan diupayakan pada 2020 mendatang. [SR]***