Sebutan ateis ditujukan kepada mereka yang tidak mengakui adanya Tuhan. Jika mendengar mereka yang ateis itu di Amerika, Rusia atau Tiongkok, kita akan menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa. Tapi bagaimana jika kita mendengar kabar orang-orang ateis itu di negara-negara Arab?
Persepsi kita orang Arab itu muslim. Kalaupun ada yang bukan muslim, mereka masih beragama, apakah itu Kristen atau lainnya. Sehingga jika ada yang mengatakan bahwa orang-orang Arab juga ada yang ateis, kita akan terkejut.
Kabar mengejutkan itu justru datang dari jaringan CNBC. Di sana disebutkan bahwa orang ateis di beberapa negara Arab jumlahnya meningkat. Tahun 2013 diperkirakan mereka yang ateis ada sekitar 8% dari jumlah penduduk. Tahun 2019 angka itu meingkat menjadi 13%.
Bahkan disertakan pula angka-angka peningkatannya di beberapa negara. Di Iran menurut survey yang diadakan tahun 2020, dari 40 ribu responden, 47% mengaku ateis.
Tahun 2014 Al Azhar di Mesir juga mengadakan survey. Sebanyak 12,3% penduduk mengaku ateis.
Bagaimana dengan Arab Saudi? Ditaksir ada sekitar 224 ribu yang mengaku ateis. Apakah mereka semua itu orang Arab atau termasuk pendatang? Tidak disebutkan.
Karena sumbernya dari CNBC sepantasnya kita curiga. Mungkin mereka sengaja menyebarkan berita seperti itu sebagai propaganda terhadap negara-negara muslim. Tapi di samping itu kita juga layak untuk memperhatikannya. Jangan-jangan gejala ke arah itu memang sedang terjadi.
Ada tiga sebab yang menjadi pendorong mengapa seseorang tidak percaya pada Tuhan, tidak percaya pada agama apa pun, atau ateis. Yang pertama adalah tindakan kekerasan atas nama agama. Ketegori sejenis itu memang cukup luas cakupannya. Pernyataan demikian di negara kita pun sering terdengar.
Penyebab yang kedua adalah gagalnya kepemimpinan agama. Dalam konteks Islam, sejarah Turki salah satunya. Jatuhnya Turki Usmani yang muslim salah satu contohnya. Kekhalifahan yang sempat berjaya, pengaruhnya bahkan sampai ke beberapa negara Eropa Timur, akhirnya runtuh.
Salah satu sebabnya adalah kepemimpinan yang tidak mematuhi kategorisasi pemerintahan yang islami. Korupsi merajalela di berbagai lapisan.
Dalam era moderen gagalnya kepemimpinan Islam juga terjadi di Mesir. Muhammad Mursi, salah seorang pimpinan Ikhwanul Muslimin, dalam pemilu yang demokratis terpilih sebagai Presiden Mesir.
Tapi masa jabatannya tidak sempat selesai karena di tengah perjalanan digagalkan oleh kudeta yang dilakukan oleh Jendral As Sisi yang berkuasa sampai sekarang.
Faktor ketiga yang menjadi penyebabnya adalah karena negara gagal memperbaiki kualitas kehidupan warganya. Faktor ini sebenarnya sangat umum bukan semata pemerintahan yang islami atau negara yang berdasarkan agama.
Negara-negara sekuler pun cukup banyak yang gagal meningkatkan kesejahteraan warganya.
Kepemimpinan Islam memang menjadi harapan banyak pihak, termasuk di masyarakat kita.
Harapannya memang ideal. Akan terbentuk pemerintahan di mana warganya merasa sejahtera, aspeknya bukan sebatas kehidupan di dunia melainkan juga mencakup kehidupan di akhirat. Aspirasi berkaitan dengan khilafah misalnya arahnya ke sana.
Meskipun sejarah mencatat bahwa beberapa kekhalifahan yang pernah berkuasa juga tidak bebas dari tindakan kekerasan.
Beberapa ulama yang besar pengaruhnya terhadap umat, ada yang dipenjarakan dan disiksa oleh khalifah yang sedang berkuasa.
Di Indonesia, aspirasi Islam menjadi wacana politik yang menarik. Hasil Pemilu 1955 misalnya, menunjukkan dua parpol Islam, yakni Masyumi dan NU, menjadi empat besar sebagai pemenang.
Logikanya, aspirasi politik Islam cukup kuat. Tapi yang terjadi selanjutnya, justru aspirasi komunis yang menonjol. Bahkan parpol nasionalis yang menempati urutan pertama pun, yakni PNI, terkooptasi oleh parpol komunis.
Padahal dalam pemilu tersebut PKI hanya menempati posisi keempat.
Mengapa bisa terjadi seperti itu?
Meskipun pertanyaan tersebut tidak mendapat jawaban yang logis, Nurcholish Madjid pernah menawarkan pemahaman baru. Islam yes, partai Islam no. Tentu banyak yang terkejut dan kecewa. Reaksi keras diarahkan kepada Cak Nur, dampaknya pun berkepanjangan.
Sementara ada pula yang sikapnya lebih dingin. Tidak mustahil kalau ucapan Cak Nur tersebut adalah sejenis reaksi kekecewaan atas kinerja parpol islam selama ini.
Sejarah agama-agama, bukan semata agama Islam, memang mencatat bahwa agama akan menimbulkan persoalan jika sudah bersentuhan dengan politik atau kepentingan ekonomi. Revolusi Perancis terjadi akibat agama (gereja) dan kaisar bersama-sama memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan mereka sendiri sementara rakyat dibiarkan sengsara. Hal yang sama juga menjadi penyebab timbulnya Revolusi Bolshevik di Rusia yang kemudian melahirkan Uni Soviet.
Jika pemerintahan tidak berhasil memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya, maka dengan sendirinya pemerintahan seperti itu akan dikategorikan gagal. Rakyat akan menolaknya. Uni Soviet runtuh karena gagal memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Kalau pemerintahan seperti itu juga menyebut atribut agama, konsekuensinya akan makin lebar. Bukan hanya pemerintahannya yang dianggap gagal, juga kepercayaan terhadap agamanya.
Kembali ke poin awal, benarkah kepemimpinan Islam yang gagal akan menyebabkan orang meninggalkan agama Islam dan kemudian menjadi ateis?***