majalahsora.com, Kota Bandung – Asep Buchori Kurnia atau AA Maung, tokoh “nonoman” Jawa Barat sekaligus pemerhati pendidikan dan budaya memaparkan, bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang disahkan pemerintah pusat, menjadi acuan legal-formal dalam mengelola kekayaan budaya di Indonesia.
Hal tersebut, menurut Asep harus diperkuat oleh kebijakan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, khususnya di Jawa Barat. Tujuannya agar tidak terjadi tumpang tindih antara kebijakan pemerintah pusat di daerah.
“Sejauh ini saya melihat pemerintah daerah di kabupaten/kota di Jawa Barat belum ada kejelasan siapa yang lebih fokus dalam memelihara dan mengembangan budaya lokal. Dulu sempat dikelola oleh Dinas Pendidikan dengan nama P&K (Pendidikan dan Kebudayaan). Namun sekarang ada di Dinas Patiwisata dan Kebudayaan/Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Sedangkan saat ini ranah pengelolaan kebudayaan pemerintah kembali ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” kata Asep, Senin (2/11/2020) malam.
“Agar tidak pacorok kokod, berebut alas, harus sinkron dengan pemerintah daerah apakah sekarang akan di urus oleh Dinas Pendidikan atau Dinas Pariwisata dan Kabudayaan/Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,” imbuhnya.
Peran Dinas Pariwisata Kebudayaan sendiri menurut Asep, sampai saat ini belum maksimal untuk menjaga, memelihara, dan mengembangkan kebudayaan daerah (lokal).
“Sementara ini hanya cendrung selalu lebih ke sebuah event atau pertunjukan juga pengembangan sektor wisata”, sebagai contoh kecil kalau ditanya ada berapa sanggar, paguron (perguruan penca sikat), perkumpulan di daerah saja tentu akan bingung menjawabnya. Karena minimnya data yang ada. Apalagi kalau ditanya mengenai sejarah dari masing-masing jenis kebudayaan yang ada di suatu wilayah baik itu tradisional, modern, atau kontemporer,” kata Asep.
Oleh sebab itu, ia mengatakan harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah. Sehingga para pelaku seni tidak bingung berpangku kepada siapa.
Perlu digaris bawahi bahwa budaya merupakan suatu karakter dan menjadi ciri mandiri suatu daerah ataupun bangsa. Kini pun muncul istilah “Pemajuan Kebudayaan”.
Ia juga menambahkan bahwa istilah “Pemajuan Kebudayaan” tidak muncul secara tiba-tiba.
Istilah tersebut, menurut Asep sudah digunakan para pendiri bangsa tertuang di UUD 1945 dalam Pasal 32, yaitu “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”.
“Untuk menegaskan bahwa kebudayaan merupakan pilar kehidupan bangsa. Saat terjadi perubahan UUD 1945 pada awal masa reformasi melalui proses amandemen, pemajuan kebudayaan tetap menjadi prioritas bahkan makin ditegaskan. Pasal 32 UUD 1945 dikembangkan menjadi, negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya,” kata Asep.
“Makanya kini perlu ada sebuah terobosan atau pembenahan dari pemerintah daerah tentang lembaga yang mengelola itu atau bila mungkin membikin suatu badan atau lembaga yang mengurus hal itu, bisa juga dikembalikan lagi ke Dinas Pendidikan,” imbuhnya.
Tujuannya agar lebih mudah, terutama bisa diterapkan dalam sebuah pelajaran sekolah sebagai bahan ajar pelajaran muatan lokal.
“Agar Generasi selanjutnya tahu, paham akan budayanya termasuk sejarahnya. Karena ini sudah jelas-jelas diamanatkan oleh undang-undang. Terlebih ada anggarannya,” tegas Asep. [SR]***