Bangsa ini membutuhkan generasi jujur, mandiri dan pembelajar sejati yang bekerja keras. Kalimat tersebut diucapkan Pelaksana Tugas Direktur Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kementerian Dikbudristek, Nizam sebagai tanggapan karena ada 200 peserta SBMPTN yang curang saat mengikuti tes masuk, sehingga akhirnya didiskualifikasi (Kompas, 24 Juni 2022).
Bagi seseorang, kejujuran merupakan proses panjang, bukan bawaan. Kejujuran juga bagian dari proses pendidikan sejak di lingkungan keluarga, sekolah sampai sikap hidup sehari-hari. Dalam beberapa hal, kejujuran bisa diwujudkan sebagai paksaan bukan terhadap orang lain melainkan terhadap diri sendiri.
Di masyarakat Jepang misalnya dikenal sejenis budaya malu. Jika seorang pejabat negara melakukan kesalahan atau tindakan tercela, dia akan segera mundur dari jabatannya. Dia merasa malu jika harus memaksakan diri tetap berada dalam jabatannya sementara tindakannya yang dia lakukan justru menodai kehormatannya.
Budaya malu seperti itu merupakan refleksi dari kejujuran yang melekat pada dirinya. Pada dasarnya kejujuran adalah kehormatan. Dalam banyak hal kehormatan merupakan sesuatu yang harus dijunjung tinggi dan diwujudkan dalam berbagai sikap serta tindakan. Tidak cukup kalau sebatas ucapan. Apalagi jika yang lebih diutamakannya adalah anjuran kepada orang lain sementara dirinya sendiri tidak melakukannya.
Bahwa kejujuran itu merupakan proses yang berdampak sangat panjang, dalam tradisi keilmuan Islam dibuktikan dalam proses penyaringan hadis sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Buchori, Imam Muslim serta empat penyusun kitab hadis lainnya. Warisan dari usaha tokoh-tokoh ini memberikan manfaat sangat besar kepada generasi-generasi selanjutnya sampai di masa kita sekarang.
Konon pada saat itu banyak sekali hadis yang beredar di masyarakat tapi diragukan kebenarannya apakah itu berpangkal pada Nabi Muhammad saw atau bukan. Imam Buchari dan Imam Muslim harus melakukan seleksi yang sangat ketat untuk melakukan cek dan recek apakah sebuah hadis itu otentik atau tidak. Kerjanya sangat melelahkan, membutuhkan ketelitian dan berlangsung salam rentang waktu sangat panjang.
Jika sekarang kita mengenal kategori mana hadis yang sahih dan mana yang daif atau maudu itu semua berpangkal dari apa yang dilakukan oleh para imam hadis terdahulu. Kalau kita simak metode yang dilakukan dalam proses penyaringan hadis tersebut, hal itu menunjukkan tradisi ilmiah yang mestinya menjadi bahan pijakan generasi selanjutnya, termasuk generasi kita yang dilahirkan hidup dalam jaman yang sangat bising seperti yang kita alami sehari-hari.
Banyak sekali informasi yang kita terima tidak disertai dengan kejujuran. Sebaliknya, bahkan informasi yang sengaja disebarkannya itu merupakan fitnah. Padahal dalam tradisi Islam, fitnah dinilai sebagai tindakan yang keji.
Bagaimana agar kejujuran merupakan nilai yang dijunjung tinggi? Kejujuran sejatinya merupakan identitas untuk menunjukkan apakah seseorang itu menjunjung tinggi kehormatan dirinya sendiri. Lebih jauh bahkan kehormatan seseorang yang ternoda bisa berimbas kepada keluarganya atau lingkungannya.
Nilai-nilai kejujuran menduduki kedudukan tinggi bagi mereka yang bergerak di bidang bisnis maupun politik. Di lingkungan bisnis misalnya dikenal ungkapan yang sangat populer bahwa uang atau modal bukanlah yang paling penting. Dalam bahasa mereka, modal bisa diperoleh dari bank. Yang lebih penting apakah seseorang dapat dipercaya atau tidak. Bagi mereka yang jejak langkahnya dikenal jujur, kalau suatu saat memerlukan modal untuk bisnis, hal itu dapat diperoleh tanpa harus menyertakan agunan.
Kejujuran di bidang politik juga tidak kurang derajatnya. Kasus yang sangat populer adalah yang menimpa Presiden Nixon di Amerika Serikat. Dia, sebagai calon dari Partai Republik, sudah terpilih untuk periode kedua, tapi akhirnya terpaksa harus mundur karena selama kampanye timnya melakukan penyadapan terhadap kegiatan di kantor Partai Demokrat yang menjadi saingannya. Di Inggris dan di Jerman juga pernah terjadi pejabat tinggi negara yang memilih mundur karena terbukti melakukan tindakan tercela.
Mundur dari jabatan merupakan penghargaan terhadap nilai-nilai kejujuran. Pada umumnya, siapa pun yang menodai kejujuran tidak layak menduduki jabatan terhormat. Dalam tradisi masyarakat kita di masa kolonial misalnya kita mengenal sebutan Lurah Bintang. Yakni seorang lurah yang mendapat bintang kehormatan karena selama melaksanakan kepemimpinannya selalu melakukannya dengan jujur.
Tentu merupakan ironi kalau membandingkannya dengan apa yang terjadi belakangan ini. Cukup banyak pejabat tinggi, yang posisinya jauh lebih tinggi ketimbang jabatan lurah, justru menjadi terpidana korupsi. Seorang pejabat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran sangat mustahil akan melakukan tindakan korupsi, betapa pun besarnya godaan terhadapnya.
Dalam konteks itulah, apa yang disampaikan Nizam, seorang pejabat tinggi di Kementerian Dikbudristek di atas, menjadi penting. Tanpa dibarengi sikap jujur, negara kita akan terus terombang-ambing, ibarat kapal yang oleng di tengah lautan.***