Sudah sangat sering dikemukakan, masyarakat kita kurang suka membaca. Meskipun jumlah penduduk lebih dari 200 juta tapi tidak ada satu pun media cetak, apakah itu koran, majalah atau pun buku yang tirasnya sampai satu juta eksemplar. Apa yang menjadi sebab sehingga masyarakat kita seperti itu? Belum ada yang bisa menemukan jawabannya. Paling-paling hanya dugaan, sebabnya adalah kurikulum pendidikan kita yang tidak mementingkan aspek membaca.
Jika benar alasannya seperti itu, untuk memperbaikinya sebenarnya tidak sulit. Tinggal ganti kurikulum yang memenuhi persyaratan tersebut, mungkin masalahnya bisa diperbaiki. Tapi sampai sejauh ini belum ada satu pun kurikulum di sekolah yang mengarah ke sana.
Belakangan, maraknya media sosial juga menjadi salah satu alasan. Karena media sosial memberikan kemudahan serta biaya yang tidak terasa mahal, akibatnya orang tidak merasa perlu membaca. Untuk apa membaca koran sebab informasi yang muncul di gawai lebih cepat, meskipun akurasinya sering diperdebatkan.
Kita juga bisa mengambil perbandingan dengan negara-negara yang sudah maju. Demam gawai terjadi di mana-mana. Bukan hanya di Indonesia, di negara lain pun gejalanya sama. Tapi mengapa di sana tiras koran masih tinggi, buku yang dicetak pun apakah itu novel atau yang lainnya juga masih terus dicetak. Memang tidak sedikit koran dan majalah yang memutuskan tidak terbit lagi, tapi yang bertahan juga tidak sedikit.
Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa tradisi membaca menjadi sangat penting. Kebiasaan yang sudah mengakar terbukti tidak gampang goyah. Bagi masyarakat maju membaca sudah menjadi kebutuhan. Pasti merasa ada sesuatu yang kurang jika tidak membaca, apakah itu koran atau novel. Bahkan para pencipta media sosial pun, sekelas Bill Gates misalnya setiap tahun selalu mengumumkan buku apa yang perlu untuk dibaca dan sangat beragam.
Mengapa bangsa yang peradabannya sudah maju justru masih merasa perlu untuk membaca? Karena bagi mereka, kebiasaan membaca sudah merupakan disiplin yang dibina sejak usia muda. Buku yang mereka baca juga berjenjang. Buku apa yang layak untuk dibaca di tingkat sekolah dasar serta kategori lain lagi yang dianggap pantas untuk dibaca di tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Tradisi membaca bahkan berlanjut sampai ke tingkat perguruan tinggi.
Itulah sebabnya di masyarakat mereka buku-buku yang sudah dinilai kanonik, sepanjang masa terus dicetak dan dibaca. Peralihan generasi tidak menyebabkan terputusnya tradisi tersebut. Buku yang dibaca seorang kakek di tingkat pendidikan dasar dulu sama atau sejenis dengan buku yang dibaca cucunya kemudian. Bahkan bukan hanya sebatas dibaca melainkan pula dialih mediakan, semisal menjadi film. Sudah berapa banyak versi film “Beauty and The Beast” misalnya. Karena versinya terus dikembangkan cerita yang merupakan dongeng anak-anak seperti itu tetap diminati berbagai generasi dari waktu ke waktu.
Tradisi seperti itulah yang belum diupayakan dalam rangkaian pendidikan kita, mulai tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Bahkan saat ini bisa dikatakan generasi pendidikan tingkat dasar umumnya tidak mengenal dongeng di tempatnya sendiri. Aneh sebenarnya, kenapa modifikasi atau perubahan kurikulum serta sistem pendidikan di negara kita tidak mementingkan perlunya pembinaan tradisi seperti itu. Di masa lalu misalnya, penerbit Balai Pustaka yang milik pemerintah sempat menerbitkan buku kumpulan dongeng dari seluruh tanah air sebagai bahan bacaan di tingkat dasar sampai tingkat menengah. Sekarang, tradisi seperti itu jangankan diteruskan, bahkan penerbit Balai Pustakanya pun ditutup, karena dinilai sebagai BUMN yang tidak menguntungkan.
Orientasi BUMN yang hanya mengejar keuntungan tanpa mengindahkan idealisme mesti segera dibenahi. Menerbitkan buku bacaan untuk siswa di berbagai tingkat pendidikan, dengan jumlah sekolah yang sangat banyak pula, sebenarnya berpotensi menghasilkan laba. Pengelolaannya yang harus ditata ulang. Tentu disertai idealisme menumbuhkan tradisi membaca sejak usia anak-anak. Tanpa dibekali kebiasaan membaca, keinginan untuk menjadi bangsa yang maju tampaknya akan sebatas menjadi mimpi tanpa kesampaian.***